Tuesday, November 21, 2017

Aliran Maturidiyah



BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah
Aliran al-Maturidiyah merupakan aliran yang lahir sebagai reaksi Kaum Muslimin terhadap pergolakan-pergolakan teologi yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tazim dan al-Wasiq (813-847 M), apalagi setelah Khalifah al-Ma’mun mengakui aliran Mu’tazilah sebagai Mazhab resmi negara pada tahun 827 M.[1]  Meskipun demikian, ahlu al-Sunnah wa al Jamaah yang dalam hal ini adalah Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur  al-Maturidi tidak selalu memiliki paham yang berbeda dengan Mu’tazilah. Ada yang beda dan ada pula yang sama.
Tampilnya aliran al-Maturidiyah dalam teologi Islam mendapat sambutan yang luas dari masyarakat Islam. Aliran ini kemudian berkembang menjadi aliran besar dalam dunia Islam pada waktu itu. Sukses ini tentunya tidak terlepas dari tokoh sentral dan sekaligus pendiri aliran tersebut, yaitu Muhammad bin Muhammad bin Mahmud bin Abu Mansur al-Maturidi, yang lebih dikenal dengan Abu Mansur        al-Maturidi.
Sebagai bentuk penolakan terhadap aliran Mu’tazilah yang dinilai banyak menyimpang dari Sunnah, Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi kemudian mendirikan aliran teologi yang kemudian dikenal dengan aliran                al-Asy’ariyah dan al-Maturidiyah. Kedua aliran ini dikenal sebagai aliran ahlu        Al-Sunnah wal Jamaah karena memiliki misi yang sama, yaitu ingin mengembalikan umat Islam kepada ajaran Sunnah.

B.     Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah tersebut, pemakalah merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana sejarah timbulnya aliran al-Maturidiyah?
2.      Bagaimana biografi Abu Mansur al-Maturidi?
3.      Apa saja yang menjadi pokok-pokok ajaran al-Maturidiyah?
4.      Bagaimana latar belakang al-Bazdawi dan pokok-pokok ajarannya?
5.      Bagaimanakah pengaruh al-Maturidiyah di dunia Islam?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Timbulnya Aliran Al-Maturidiyah
Munculnya aliran al-Maturidiyah pada dasarnya memiliki kesamaan dengan aliran al-Asy’ariyah. Kedua tokoh aliran tersebut memiliki persamaan dalam hal perkembangan pemikiran kalamnya. Keduanya sama-sama dihadapkan pada pemikiran kalam yang cukup menggoncangkan spiritualitas idiologi umat Islam kala itu.[2]
Al-Maturidiyah adalah nama sebuah aliran dalam ilmu Kalam yang kemudian dinisbatkan kepada pendirinya, Imam al-Maturidi. Nama lengkapnya: Muhammad Bin Muhammad Bin Mahmud Bin Abu Mansur al-Maturidi. Dia lahir di kota Maturid, Samarkand. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan jelas, diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke III H, dan meninggal pada tahun 333 H.[3]
Al-Maturidi hidup dan dibesarkan dalam suasana pertentangan yang sangat tajam antara penganut Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i, sedangkan dalam bidang kalam antara kubu ulama hadis dengan aliran Mu’tazilah. Banyaknya perbedaan itu menjadi unsur positif bagi al-Maturidi karena menjadikan dia terpacu terus mendalami berbagai bidang keilmuan.[4]
Pada periode selanjutnya aliran al-Maturidiyah mengalami perkembangan lagi dengan kehadiran tokoh baru yang bernama Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi yang lahir di Hudud, sebuah negeri di Bazdah pada tahun 400 H dan wafat sekitar tahun 482 H.[5] seperti halnya al-Maturidi, nama al Bazdawi juga didasarkan kepada daerah Bazdad tempat kelahirannya. Selama masa hidupnya ia lebih banyak tinggal di Bukhara, kota yang kebanyakan ulamanya penganut pemikiran al-Asy’ari, sehingga al-Bazdawi tidak luput dari pengaruh itu sehingga dalam pemikiran kalamnya lebih bercorak Maturidiyah al-Asy’ari.[6]
Dalam bidang aqidah, pada mulanya al-Bazdawi berpedoman pada al-Fiqh   al-Akbar, tapi dalam perkembangan selanjutnya ia kemudian menganut paham        al-Maturidiyah, akan tetapi, meskipun ia menganut paham ini namun pemikirannya tidak selamanya seirama dengan al-Maturidi yang lebih dekat kepada al-Mu’tazilah, sedangkan ia lebih dekat kepada al-Asy’ari. Perbedaan inilah membuat paham         al-Maturidiyah terbagi menjadi dua golongan, Samarkand dan golongan Bukhara.[7] Untuk pembahasan lebih jauh, berikut ini penulis akan memaparkan tentang kedua golongan tersebut.
1. Golongan Samarkand
Paham al-Maturidiyah yang dikenal dengan golongan Samarkand adalah    Abu Mansur al-Maturidi sendiri dan pengikut-pengikutnya. Sebagai pengikut        Abu Hanifah, pemikiran al-Maturidi terkadang cenderung agak rasional. Dengan demikian, meskipun al-Maturidi sendiri muncul sebagai reaksi terhadap paham        al-Mu’tazilah, namun dalam beberapa masalah, al-Maturidi cenderung sependapat dengan al-Mu’tazilah, dan dalam beberapa hal pula pemikiran-pemikiran al-Maturidi juga sejalan al-Asy’ari. Golongan ini cenderung ke arah paham al-Mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat Tuhan, al-Maturidi dan al-Asy’ari terdapat kesamaan pandangan. Menurut al-Maturidi, Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan mengetahui bukan dengan zat-Nya melainkan dengan pengetahuan-Nya. Begitu juga Tuhan berkuasa bukan dengan zat-Nya. Demikian juga mengenai perbuatan-perbuatan manusia, al-Maturidi sependapat dengan golongan al-Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Apabila dilihat dari sisi ini, al-Maturidi sepaham dengan al-Qadariyah.[8]
Dalam soal al-Wa’ad wa al-Waid, al-Maturidi juga sepaham dengan             al-Mu’tazilah bahwa janji dan ancaman Tuhan kelak pasti terjadi. Demikian juga masalah antropomorphisme, dimana al-Maturidi berpendapat bahwa tangan, wajah, dan sebagainya seperti penggambaran al-Qur’an, mesti diberi arti kiasan. Dalam hal ini, al-Maturidi bertolak belakang dengan al-Asy’ari.[9]
2. Golongan Bukhara
Golongan Maturidiyah Bukhara ini dipimpin oleh Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi. Dari orang tuanya, Al-Bazdawi dapat menerima ajaran-ajaran               al-Maturidi. Kemudian dalam perkembangannya al-Bazdawi mempunyai seorang murid yang bernama Najm al-Din Muhammad al-Nasafi dengan karyanya al-‘Aqaid al-Nasafiyah.
Dengan demikian, yang dimaksud golongan Bukhara adalah              pengikut-pengikut al-Bazdawi dalam aliran al-Maturidiyah yang mempunyai pendapat yang lebih dekat kepada pendapat-pendapat al-Asy’ari.[10]
B. Abu Mansur Al-Maturidi dan Pokok-pokok Ajarannya
1.    Riwayat Hidup Abu Mansur al-Maturidi
Riwayat hidup Abu Mansur al-Maturidi tidak begitu banyak diungkapkan oleh para penulis. Yang jelas ia hidup sezaman dengan Abu al-Hasan al-Asy’ari, tapi di tempat yang berbeda. Al-Asy’ari di Bashrah, sementara al-Maturidi di Samarkand. Latar belakang mazhab yang dianut keduanya pun tidak sama. Al-Asy’ari adalah penganut Mazhab Syafi’i, sedangkan al-Maturidi penganut Mazhab Hanafi, sehingga pemikiran teologi al-Maturidi lebih rasional ketimbang al-Asy’ari. Pemikiran          al-Maturidi yang sejalan dengan Abu Hanifah itu, lebih cenderung mendekati pemikiran Mu’tazilah, sementara pemikiran Al-Asy’ari lebih dekat pada Jabariyah.
Nama lengkap al-Maturidi adalah Abu Mansur Muhammad Bin Muhammad Bin Mahmud al-Maturidi. Ia dilahirkan di Maturid, sebuah daerah di Samarkand. Tahun kelahirannya tidak begitu jelas, tapi diperkirakan pada pertengahan ke II abad kesembilan Masehi. Ia wafat tahun 332 H/994 M. Karena daerah kelahirannya adalah Maturid, ia kemudian lebih dikenal dengan sebutan al-Maturidi.[11]
2.  Pokok-pokok Ajaran Al-Maturidiyah
Pokok-pokok ajaran al-Maturidiyah dalam bidang Teologi Islam, mencakup beberapa hal, yang diantaranya berkenaan dengan masalah sifat-sifat Tuhan, perbuatan dan kehendak mutlak Tuhan, konsep iman, akal dan wahyu, dosa besar dan paham tentang melihat Tuhan.
a.    Paham tentang sifat-sifat Tuhan
Menurut al-Maturidiyah Samarkand, sifat-sifat Tuhan bukan sesuatu diluar dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada dzat-Nya dan tidak pula terpisah dari dzat-Nya.[12] Sifat-sifat tersebut mempunyai eksistensi yang mandiri dari dzat, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa banyaknya sifat-sifat itu akan membawa kepada banyaknya yang qadim (kekal).[13] Menurut pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya, tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan berkuasa bukan dengan dzat-Nya, tetapi berkuasa dengan kekuasaan-Nya.[14]
Selanjutnya menurut al-Maturidiyah Samarkand, Tuhan bersifat immateri, karenanya ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan seakan-akan mempunyai sifat materi seperti kata tangan, wajah dan penglihatan.[15] Seperti yang terdapat dalam ayat al-Qur’an.
يدالله فوق أيديهم
Terjemahnya: Tangan Allah diatas tangan mereka (Q.S. al-Fath: 10)[16] dan
Sebenarnya yang dimaksud adalah “kekuasaan, rahmat dan penguasaan” Tuhan atas makhluk-Nya.[17] Hal ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah, namun berbeda dalam mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Sedangkan mengenai apakah Tuhan dapat dilihat nanti, Maturidiyah Samarkand sejalan dengan Asy’ariyah bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala.
Seperti halnya Maturidiyah Samarkand, Maturidiyah Bukharah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, tetapi persoalan banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, jadi Tuhan bersama-sama sifat-Nya kekal tetapi sifat-sifat itu sendiri tidak kekal. Selanjutnya Maturidiyah Bukharah juga berpendapat bahwa ayat-ayat yang menggambarkan bahwa Tuhan memiliki unsur-unsur jasmani seperti tangan, itu adalah sifat, bukan anggota badan Tuhan.  Jadi sifat yang dimaksud adalah sifat yang sama dengan sifat-sifat lain seperti halnya ilmu, kehendak dan daya.[18]
b.  Paham tentang perbuatan manusia dan kehendak mutlak Tuhan
Mengenai perbuatan-perbuatan mansuia, Maturidiyah Samarkand sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian, Maturidiyah Samarkand mempunyai paham searah dengan paham Qadariyah.[19]
Selanjutnya menurut Maturidiyah Samarkand, segala perbuatan manusia terjadi atas kehendak dan kemauan Tuhan. Dalam hal ini ada dua perbuatan yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya, sedangkan perbuatan manusia mempergunakan daya. Akan tetapi,  daya menurut Maturidi tidak sama dengan daya menurut Asy’ary. Menurut             Al-Maturidi daya memberi peluang bagi manusia untuk berperan dalam perbuatannya, maksudnya Tuhan adalah pencipta yang melahirkan wujud suatu perbuatan, sedangkan manusia adalah pelaku yang mempunyai pilihan (ikhtiar) dalam perbuatannya.[20]
Menurut golongan Bukhara, Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap makhluk-Nya. Oleh karena itu, Tuhan tidak wajib berbuat baik terhadap hamba-Nya. Pada perbuatan manusia terdapat daya yang diciptakan oleh Tuhan, dan perbuatan itu sendiri dari manusia. Mengenai Al-Wa’ad wa al-Wa’id, menurut         al-Bazdawi tidak mungkin Tuhan melanggar janji-Nya untuk memberi balasan kepada orang yang berbuat baik, tetapi sebaliknya bukan tidak mungkin Tuhan membatalkan janjinya untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat.[21]
c.  Paham tentang Iman
Menurut golongan Samarkand, iman adalah tasdiq bi al-Qalb bukan      semata-mata iqrar bi al-Lisan, selanjutnya tasdiq seperti yang dipahami harus diperoleh dengan ma’rifat.[22]
Meskipun demikian, ma’rifat bukanlah esensi iman melainkan faktor penyebab hadirnya iman. Jadi menurut al-Maturidi iman adalah tasdiq yang berdasarkan ma’rifat. Iman adalah mengetahui Tuhan dalam ke Tuhanan-Nya, ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan segala sifat-Nya.[23]
Dalam hal ini, Maturidiyah Bukharah berpandangan bahwa iman adalah tasdiq bi Al-qalb yaitu meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan iqrar bi al-Lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Golongan ini mempunyai paham yang sama dengan kaum Asy-ariyah bahwa akal tidak sampai pada kewajiban adanya Tuhan, iman tidak dapat mengambil bentuk ma’rifat atau amal, tapi haruslah merupakan tasdiq saja. Sedangkan Maturidiyah Bukharah berpendapat bahwa iman itu terdiri dari dua aspek dalam struktur iman, salah satu aspeknya adalah petunjuk atau hidayah Allah,  dan hal ini tidak diciptakan, sedangkan aspek yang kedua adalah yang diberi petunjuk yang merupakan peran yang dimainkan manusia dan inilah yang diciptakan.[24]
d. Paham tentang akal dan wahyu
Menurut al-Maturidi golongan Samarkand, akal mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk. Dengan demikian, akal juga dapat mengetahui bahwa berbuat buruk adalah buruk dan berbuat baik adalah baik, dan pengetahuan inilah yang memastikan adanya perintah dan larangan.[25]
Dalam masalah baik dan buruk, Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’i hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu dibutuhkan untuk dijadikan sebagai pembimbing.[26]
Menurut golongan Bukhara, akal tidak dapat sampai kepada kewajiban mengetahui adanya Tuhan, iman tidak bisa mengambil bentuk ma’rifat atau amal, tetapi haruslah merupakan tasdiq. Batasan yang diberikan al-Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam hati dan lidah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan Dia. Akibat dari paham demikian ialah bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia.[27]
Dengan demikian, Maturidiyah Bukharah hanya mengakui kemampuan akal mengetahui Tuhan, sedangkan wajib mengetahui Tuhan menurut mereka tidak dapat diketahui kecuali dengan informasi wahyu. Al-Bazdawi mengatakan bahwa tidak ada kewajiban sebelum Rasul datang, oleh karena iman kepada Tuhan tidak wajib kecuali setelah datangnya wahyu.[28] Selanjutnya mengenai perbuatan baik dan buruk, Maturidiyah Bukharah sependapat dengan Maturidiyah Samarkand bahwa akal hanya dapat mengetahui baik dan buruk, sedangkan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk tidak dapat diketahui oleh akal tanpa adanya petunjuk wahyu.[29]
e. Paham Tentang Pelaku Dosa Besar
Mengenai dosa besar, al-Maturidiyah Samarkand sependapat dengan            al-Asy’ari bahwa orang berdosa besar masih tetap mu’min.[30]
Menurut aliran ini, meskipun seseorang melakukan dosa besar,  dia masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Hal ini tentu sejalan dengan konsep keimanan al-Maturidi yang telah kita uraikan di atas bahwa iman adalah iqrar wa-Tasdiq. Sehingga dengan demikian hati tidak akan terpengaruh oleh perbuatan-perbuatan badan. Adapun balasan yang diterimanya nanti di akhirat tergantung apa yang dilakukannya di dunia, sebab Tuhan akan menepatinya. Jika pelaku dosa besar itu mati sebelum bertaubat dan Tuhan menghendaki masuk neraka maka dia tidak akan kekal di dalamnya.[31]
Mengenai dosa besar, Golongan Bukharah mempunyai pendapat yang sama dengan golongan Samarkand bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin sehingga jika dimasukkan ke dalam neraka akibat dosa tersebut tetapi dia tidak akan kekal di dalamnya. Mengenai nasibnya nanti di akhirat tergantung kepada kehendak mutlak Tuhan, bisa jadi dia mendapat ampunan dan masuk surga atau ditimpa musibah terlebih dahulu kemudian dimasukkan dalam surga.


f. Paham Tentang Al-Qur’an
Dalam hal ini, al-Maturidi tidak sepaham dengan Mu’tazilah tentang            al-Qur’an. Sebagaimana al-Asy’ari, al-Maturidi mengatakan bahwa kalam atau sabda Tuhan tidak diciptakan tetapi bersifat qadim. Kalam Tuhan adalah sifat Azali Tuhan, karena itu Ia qadim dan tidak baru.[32]
Al-Maturidi berpendapat bahwa Al-Qur’an (kalam Allah) terbagi terbagi dalam dua bentuk. Pertama, Kalam nafsi, yaitu kalam yang ada pada dzat Allah Swt dan bersifat qadim bukan dalam bentuk hurup dan suara. Kalam ini menjadi sifat Allah Swt sejak dahulu kala. Manusia tidak dapat mengetahui hakikat-Nya. Kalam yang terdiri dari hurup dan suara, yang disebut mushaf (kumpulan lembaran).[33]
g. Paham Tentang Melihat Tuhan
Melihat Tuhan pada hari kemudian adalah hal yang dapat terjadi. Pendapat    al-Maturidiyah ini berdasarkan pada Al-Qur’an surat Al-Qiyamah: 22-23 :
وجوه يومئذ ناضرة, الى ربها ناظرة
Terjemahnya:
Wajah-wajah (orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”.[34]

Al-Maturidi yang menetapkan bahwa Allah SWT dapat dilihat pada hari kiamat, menegaskan bahwa itu merupakan salah satu keadaan khusus hari kiamat, sedangkan keadaan itu hanyalah Allah Swt yang mengetahui bagaimana bentuk dan sifatnya. Manusia tidak mengetahui tentang hari kiamat kecuali melalui ungkapan dan pernyataan yang menetapkannya. Membicarakan bagaimana sebenarnya hari kiamat itu termasuk sikap yang melampaui batas.[35]
Dalam hal ini, Maturidiyah Bukharah dan Samarkand sepaham dengan Asy’ariah. Al-Maturidi juga berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat karena ia mempunyai wujud. Menurut al-Bazdawi, Tuhan dapat dilihat, sungguhpun tidak mempunyai bentuk, tidak mengambil tempat dan tidak terbatas.[36]

C.     Bazdawi dan Ajaran-ajarannya

Salah seorang pengikut al-Maturidi ialah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi. Al-Bazdawi mengetahui ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Al-Bazdawi sendiri memiliki murid-murid, dan salah seorang dari mereka ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi           (460-537 H), pengarang buku al-Aqaid al-Nasafiyah.[37]
Diantara ajaran-ajaran al-Bazdawi adalah:

1.      Kemampuan akal manusia
Tampaknya al-Bazdawi sepaham dengan al-Maturidi dalam hal kemampuan akal manusia untuk mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Akan tetapi, al-Bazdawi berpendapat bahwa sebelum datangnya wahyu tidak ada kewajiban mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Manusia tidak diwajibkan untuk mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat. Menurut al-Bazdawi, kewajiban-kewajiban hanya ditentukan oleh Tuhan, dan ketentuan-ketentuan Tuhan itu hanya dapat diketahui melalui wahyu[38]
2.      Perbuatan manusia
Al-Bazdawi berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah. Allah membuatnya dan mewujudkannya. Sedangkan manusia adalah pelaku yang sebenarnya. Perbuatan manusia timbul dari dirinya dengan kebebasan dan kemampuan yang hadis (baru). Perbuatan manusia itu bukan perbuatan Allah. Perbuatan Allah hanyalah menjadikan dan mewujudkan. Sedangkan perbuatan manusia adalah melakukan bukan mewujudkan.[39]
3.         Kehendak dan Kekuasaan Tuhan
Al-Bazdawi menyatakan bahwa Tuhan berbuat apa saja yang Ia kehendaki. Tak seorang pun bisa melarang-Nya. Allah mungkin menyakiti hamba-Nya dan menguji mereka tanpa ada dosa sebelumnya. Ia juga berpendapat bahwa perbuatan menganiaya, berbohong, dan melanggar janji adalah mustahil bagi Allah.[40]
4.      Sifat-Sifat Tuhan
Menurut al-Bazdawi, Tuhan mempunyai sifat-sifat yaitu ilmu,  hayat, qudrah, dan quwwah. Tuhan mengetahui dengan ilmu-Nya dan hidup dengan hayat-Nya.       Sifat-sifat Allah itu kekal, tapi dengan kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan, bukan dengan kekekalan sifat itu sendiri.[41]


5.      Melihat Tuhan
Menurut al-Bazdawi Allah itu bisa dilihat nanti di akhirat. Dalil yang dipakai untuk menguatkan pendapatnya adalah Surah al-A’raf (7): 143[42] yang terjemahnya:
Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu.”[43]
6.      Iman Kepada Tuhan
Menurut  al-Bazdawi, iman ialah meyakini dalam hati bahwa Allah-lah yang berhak disembah dan diagungkan, dan diucapkan dengan lisan. Mempercayai semua sifat-sifat Tuhan, nabi-nabi-Nya, dan semua rukun islam. Alasan yang dikemukakan ialah karena iman tak akan terwujud tanpa dua unsur itu, yaitu keyakinan dalam hati dan pengakuan dengan ucapan lisan.[44]
D.       Pengaruh Ajaran Al-Maturidiyah di Dunia Islam
Aliran al-Maturidiyah ini telah meninggalkan pengaruh dalam dunia Islam. Hal ini bisa dipahami karena manhajnya yang memiliki ciri mengambil sikap tengah antara aqal dan dalil naqli, Aliran ini juga berusaha menghubungkan antara fikir dan amal, mengutamakan pengenalan pada masalah-masalah yang diperselisihkan oleh banyak ulama kalam, namun masih berkisar pada satu pemahaman untuk dikritisi letak-letak kelemahannya.
Keistimewaan yang juga dimiliki al-Maturidiyah bahwa pengikutnya dalam perselisihan atau perdebatan tidak sampai saling mengkafirkan sebagaimana yang pernah terjadi di kalangan khawarij, rawafidh dan qadariyah[45]

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian-uraian sebelumnya, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, yaitu:
  1. Aliran al-Maturidiyah muncul sebagai reaksi keras terhadap aliran Mu’tazilah. Tidak heran jika aliran ini banyak memiliki persamaan dengan aliran            al-Asy’ariah, walaupun tidak menutup kemungkinan ada perbedaan diantara keduanya.
  2. Al-Maturidiyah pada perkembangan selanjutnya kemudian terbagi dua, yakni golongan Samarkand yang dipelopori oleh al-Maturidi sendiri beserta pengikut-pengikutnya, dan golongan Bukhara yang dipelopori oleh               al-Bazdawi dan pengikut-pengikutnya. Paham ini terbagi dua oleh karena dalam kedua tokoh sentral al-Maturidiyah tersebut memiliki perbedaan dalam hal pemahaman teologi.
  3. Al-Maturidiyah Samarkand lebih dekat sistem teologinya dengan                  al-Mu’tazilah, sedangkan al-Maturidiyah Bukhara lebih mendekati pemikiran al-Asy’ariyah


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad. Tauhid Ilmu Kalam. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Al-Asy’ari, Imam Abi al-Hasan bin Ismail. Al-Ibanah an Ushul al-Diniyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Al-Barsany, Noer Iskandar. Pemikiran Kalam Abu Mansur al-Maturidi. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Al-Magribi, Ali Abdul Fattah, Imam Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah: AbuMansur al-Maturidi wa Arauhu al-Kalamiyah, Cet. I; t.tp: Maktabah wahbah, 1985.
Anwar, Rosihan dan Abdul Razak. Ilmu Kalam. Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2003.
----------------. Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlussunnah Wal Jamaah. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro, 2007.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jil.3. Cet. III; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1988.
Haq, Hamka. Dialog Pemikiran Islam. Makassar: al-Ahkam, 2004.
Harahap, Syahrir dan Hasan Bakti Nasution. Ensiklopedia Aqidah Islam. Cet. I; Jakarta: Perdana Media, 2003.
Izutsu,  Toshihiko. The Concept of Belief in Islamic Theology, diterjemahkan Agus Fahri Husein, Analisa Sematik Iman dan Islam. Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Muhammad, Abdul Kadir bin Tahir, Al-Farqu Bainal Firaq.  Dar al-Kutub al-ilmiah: Beirut: t.th.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Sejarah Analisa Perbandingan. Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986.
Subhi, Ahmad Mahmud. Fi Ilm al-Kalam: Dirasah Falsafiyah. Iskandariah: Muassasah al Saqafah al-Jam’iyah, 1982.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islam II. Cet. XVI; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Zahra, Imam Muhammad Abu. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah fi al-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyah, diterjemahkan oleh Abdul Rahman Dahlan dan Ahmad Darib, dengan judul Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Cet. I; Logos Publishing House, 1996.



[1]Harun Nasution, Teologi Islam: Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986), h. 61.
[2]Noer Iskandar Al-Barsany, Pemikiran Kalam Abu Mansur al-Maturidi (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 89.
[3]Ali Abdul Fatta al-Magribi, Imam Ahlussunnah wa al-Jamaah: Abu Mansur al-Maturidi wa Arauhu al-Kalamiyah (Cet.I; t.tp: Maktabah Wahbah, 1995), h. 11
[4]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islam II (Cet. XVI; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 296.
[5]Syahrir Harapan dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedia Aqidah Islam (Cet. I; Jakarta Perdana Media, 2003), h. 73.
[6]Noer Iskandar. Al-Barsany, Bografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlussunnah Waljamaah (Cet. I; Jakarta; Raja Grafindo Persada; 2001), h. 86
[7]Ibid
[8]Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 190.
[9]Ibid.
[10]Ibid., h. 191.
[11]Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 128.
[12]Noer Iskandar Al-Barasany, op. cit., h. 33.
[13]Imam Muhammad Abu Zahra, Tarikh Al-Mazahib al-Islamiyyah fi al-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyah, Diterjemahkan oleh Abdul Rahman Dahlan dan Ahmad Darib,
[14]Harun Nasution, op. cit., h. 78.
[15]Noer Iskandar, Al-Barsany, op. cit., h. 36.
[16]Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro), h. 408
[17]Noer Iskandar, Al-Barsany, loc. cit.
[18]Harun Nasution, op. cit., h. 137-138.
[19]Ibid., h. 77
[20]Toshihiko Itzusu, The Concept of Belif in Islamic Theology, Diterjemahkan Agus Fahri Husein, Analisa Semantik Iman dan Islam (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 239
[21]Harun Nasution, op. cit, h. 133-134.
[22]Rosihan Anwar dan Abdul Razak, Ilmu Kalam (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2003),      h. 149-150.
[23]Toshihiko Izutsu, op. cit., h. 239.
[24]Ibid.
[25]Harun Nasution, op. cit., h. 91.
[26]Rosihan Anwar dan Abdul Razak, op. cit., h. 125.
[27]Harun Nasution, loc. Cit. 
[28]Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam (Makassar: al-Ahkam, 2004), h. 23-24.
[29]Harun Nasution, op. cit., h. 90.
[30]Ibid., h. 77.
[31]Ibid., h. 138.
[32] Imam Abi al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, Al-Ibanah an Ushuh al-Diniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.tp) h. 31
[33] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, Jil. 3 (Cet. III; Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 207
[34]Departemen Agama RI, op. cit., h. 461.
[35]Imam Muhammad Abu Zahra, op. cit., h. 220-221.
[36]Harun Nasution, op. cit., h. 140.

[37]Ibid., h. 76
[38]Ibid., h. 87.
[39]Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi, Kitab Ushul al-Din (Qahirah: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, 1963), h. 99.
[40]Ibid., h. 130.
[41]Ahmad Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam: Dirasah Falsafiyah (Iskandariah: Muassasah al Saqafah al-Jam’iyah, 1982), h. 193.
[42]Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi, op. cit., h. 79.
[43]Departemen Agama RI, op. cit., h. 133.
[44] Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi, op. cit., h. 149
[45]Abdul Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq (Dar al-Kutub al-ilmiah: Beirut: t.th). h, 282

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...