BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Aliran al-Maturidiyah merupakan aliran yang lahir
sebagai reaksi Kaum Muslimin terhadap pergolakan-pergolakan teologi yang
terjadi pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tazim dan al-Wasiq
(813-847 M), apalagi setelah Khalifah al-Ma’mun mengakui aliran Mu’tazilah
sebagai Mazhab resmi negara pada tahun 827 M.[1] Meskipun demikian, ahlu al-Sunnah wa al
Jamaah yang dalam hal ini adalah Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi tidak selalu memiliki paham yang
berbeda dengan Mu’tazilah. Ada yang beda dan ada pula yang sama.
Tampilnya aliran al-Maturidiyah dalam teologi Islam
mendapat sambutan yang luas dari masyarakat Islam. Aliran ini kemudian
berkembang menjadi aliran besar dalam dunia Islam pada waktu itu. Sukses ini
tentunya tidak terlepas dari tokoh sentral dan sekaligus pendiri aliran
tersebut, yaitu Muhammad bin Muhammad bin Mahmud bin Abu Mansur al-Maturidi,
yang lebih dikenal dengan Abu Mansur al-Maturidi.
Sebagai bentuk penolakan terhadap aliran Mu’tazilah yang
dinilai banyak menyimpang dari Sunnah, Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur
al-Maturidi kemudian mendirikan aliran teologi yang kemudian dikenal dengan
aliran al-Asy’ariyah dan
al-Maturidiyah. Kedua aliran ini dikenal sebagai aliran ahlu Al-Sunnah wal Jamaah karena memiliki
misi yang sama, yaitu ingin mengembalikan umat Islam kepada ajaran Sunnah.
B. Rumusan Masalah
Dari latar
belakang masalah tersebut, pemakalah merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana sejarah timbulnya aliran
al-Maturidiyah?
2.
Bagaimana biografi Abu Mansur
al-Maturidi?
3.
Apa saja yang menjadi pokok-pokok
ajaran al-Maturidiyah?
4.
Bagaimana latar belakang al-Bazdawi
dan pokok-pokok ajarannya?
5.
Bagaimanakah pengaruh al-Maturidiyah
di dunia Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Timbulnya Aliran Al-Maturidiyah
Munculnya aliran al-Maturidiyah pada dasarnya memiliki
kesamaan dengan aliran al-Asy’ariyah. Kedua tokoh aliran tersebut memiliki
persamaan dalam hal perkembangan pemikiran kalamnya. Keduanya sama-sama dihadapkan
pada pemikiran kalam yang cukup menggoncangkan spiritualitas idiologi umat
Islam kala itu.[2]
Al-Maturidiyah adalah nama sebuah aliran dalam ilmu
Kalam yang kemudian dinisbatkan kepada pendirinya, Imam al-Maturidi. Nama
lengkapnya: Muhammad Bin Muhammad Bin Mahmud Bin Abu Mansur al-Maturidi. Dia
lahir di kota Maturid, Samarkand.
Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan jelas, diperkirakan lahir pada
pertengahan abad ke III H, dan meninggal pada tahun 333 H.[3]
Al-Maturidi hidup dan dibesarkan dalam suasana
pertentangan yang sangat tajam antara penganut Mazhab Hanafi dan Mazhab
Syafi’i, sedangkan dalam bidang kalam antara kubu ulama hadis dengan aliran
Mu’tazilah. Banyaknya perbedaan itu menjadi unsur positif bagi al-Maturidi
karena menjadikan dia terpacu terus mendalami berbagai bidang keilmuan.[4]
Pada periode selanjutnya aliran al-Maturidiyah mengalami
perkembangan lagi dengan kehadiran tokoh baru yang bernama Abu al-Yusr Muhammad
al-Bazdawi yang lahir di Hudud, sebuah negeri di Bazdah pada tahun 400 H dan
wafat sekitar tahun 482 H.[5]
seperti halnya al-Maturidi, nama al Bazdawi juga didasarkan kepada daerah
Bazdad tempat kelahirannya. Selama masa hidupnya ia lebih banyak tinggal di Bukhara,
kota yang kebanyakan ulamanya penganut pemikiran al-Asy’ari, sehingga
al-Bazdawi tidak luput dari pengaruh itu sehingga dalam pemikiran kalamnya
lebih bercorak Maturidiyah al-Asy’ari.[6]
Dalam bidang aqidah, pada mulanya al-Bazdawi berpedoman
pada al-Fiqh al-Akbar, tapi dalam
perkembangan selanjutnya ia kemudian menganut paham al-Maturidiyah, akan tetapi, meskipun
ia menganut paham ini namun pemikirannya tidak selamanya seirama dengan
al-Maturidi yang lebih dekat kepada al-Mu’tazilah, sedangkan ia lebih dekat
kepada al-Asy’ari. Perbedaan inilah membuat paham al-Maturidiyah terbagi menjadi dua
golongan, Samarkand dan golongan Bukhara.[7]
Untuk pembahasan lebih jauh, berikut ini penulis akan memaparkan tentang kedua
golongan tersebut.
1.
Golongan Samarkand
Paham al-Maturidiyah yang dikenal dengan golongan
Samarkand adalah Abu Mansur
al-Maturidi sendiri dan pengikut-pengikutnya. Sebagai pengikut Abu Hanifah, pemikiran al-Maturidi
terkadang cenderung agak rasional. Dengan demikian, meskipun al-Maturidi
sendiri muncul sebagai reaksi terhadap paham al-Mu’tazilah, namun dalam beberapa
masalah, al-Maturidi cenderung sependapat dengan al-Mu’tazilah, dan dalam
beberapa hal pula pemikiran-pemikiran al-Maturidi juga sejalan al-Asy’ari.
Golongan ini cenderung ke arah paham al-Mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya
soal sifat-sifat Tuhan, al-Maturidi dan al-Asy’ari terdapat kesamaan pandangan.
Menurut al-Maturidi, Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan mengetahui bukan dengan
zat-Nya melainkan dengan pengetahuan-Nya. Begitu juga Tuhan berkuasa bukan
dengan zat-Nya. Demikian juga mengenai perbuatan-perbuatan manusia, al-Maturidi
sependapat dengan golongan al-Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Apabila dilihat dari sisi ini, al-Maturidi
sepaham dengan al-Qadariyah.[8]
Dalam soal al-Wa’ad wa al-Waid, al-Maturidi juga
sepaham dengan al-Mu’tazilah
bahwa janji dan ancaman Tuhan kelak pasti terjadi. Demikian juga masalah
antropomorphisme, dimana al-Maturidi berpendapat bahwa tangan, wajah, dan sebagainya
seperti penggambaran al-Qur’an, mesti diberi arti kiasan. Dalam hal ini, al-Maturidi
bertolak belakang dengan al-Asy’ari.[9]
2. Golongan Bukhara
Golongan Maturidiyah Bukhara ini dipimpin oleh Abu
al-Yusr Muhammad al-Bazdawi. Dari orang tuanya, Al-Bazdawi dapat menerima
ajaran-ajaran al-Maturidi.
Kemudian dalam perkembangannya al-Bazdawi mempunyai seorang murid yang bernama
Najm al-Din Muhammad al-Nasafi dengan karyanya al-‘Aqaid al-Nasafiyah.
Dengan demikian, yang dimaksud golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut al-Bazdawi dalam
aliran al-Maturidiyah yang mempunyai pendapat yang lebih dekat kepada pendapat-pendapat
al-Asy’ari.[10]
B. Abu Mansur Al-Maturidi dan Pokok-pokok Ajarannya
1.
Riwayat
Hidup Abu Mansur al-Maturidi
Riwayat hidup Abu Mansur al-Maturidi tidak begitu banyak
diungkapkan oleh para penulis. Yang jelas ia hidup sezaman dengan Abu al-Hasan
al-Asy’ari, tapi di tempat yang berbeda. Al-Asy’ari di Bashrah, sementara
al-Maturidi di Samarkand. Latar belakang mazhab yang dianut keduanya pun tidak
sama. Al-Asy’ari adalah penganut Mazhab Syafi’i, sedangkan al-Maturidi penganut
Mazhab Hanafi, sehingga pemikiran teologi al-Maturidi lebih rasional ketimbang al-Asy’ari.
Pemikiran al-Maturidi yang
sejalan dengan Abu Hanifah itu, lebih cenderung mendekati pemikiran Mu’tazilah,
sementara pemikiran Al-Asy’ari lebih dekat pada Jabariyah.
Nama lengkap al-Maturidi adalah Abu Mansur Muhammad Bin
Muhammad Bin Mahmud al-Maturidi. Ia dilahirkan di Maturid, sebuah daerah di Samarkand. Tahun
kelahirannya tidak begitu jelas, tapi diperkirakan pada pertengahan ke II abad
kesembilan Masehi. Ia wafat tahun 332 H/994 M. Karena daerah kelahirannya
adalah Maturid, ia kemudian lebih dikenal dengan sebutan al-Maturidi.[11]
2. Pokok-pokok
Ajaran Al-Maturidiyah
Pokok-pokok ajaran al-Maturidiyah dalam bidang Teologi
Islam, mencakup beberapa hal, yang diantaranya berkenaan dengan masalah
sifat-sifat Tuhan, perbuatan dan kehendak mutlak Tuhan, konsep iman, akal dan
wahyu, dosa besar dan paham tentang melihat Tuhan.
a.
Paham
tentang sifat-sifat Tuhan
Menurut al-Maturidiyah Samarkand, sifat-sifat Tuhan
bukan sesuatu diluar dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada dzat-Nya
dan tidak pula terpisah dari dzat-Nya.[12]
Sifat-sifat tersebut mempunyai eksistensi yang mandiri dari dzat, sehingga
tidak dapat dikatakan bahwa banyaknya sifat-sifat itu akan membawa kepada
banyaknya yang qadim (kekal).[13]
Menurut pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya, tetapi mengetahui
dengan pengetahuan-Nya, dan berkuasa bukan dengan dzat-Nya, tetapi berkuasa
dengan kekuasaan-Nya.[14]
Selanjutnya menurut al-Maturidiyah Samarkand, Tuhan
bersifat immateri, karenanya ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan
seakan-akan mempunyai sifat materi seperti kata tangan, wajah dan penglihatan.[15]
Seperti yang terdapat dalam ayat al-Qur’an.
يدالله فوق أيديهم
Terjemahnya: Tangan Allah diatas tangan mereka (Q.S. al-Fath:
10)[16]
dan
Sebenarnya yang dimaksud adalah “kekuasaan, rahmat dan penguasaan”
Tuhan atas makhluk-Nya.[17]
Hal ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah, namun berbeda dalam mengakui adanya
sifat-sifat Tuhan. Sedangkan mengenai apakah Tuhan dapat dilihat nanti, Maturidiyah
Samarkand sejalan dengan Asy’ariyah bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata
kepala.
Seperti halnya Maturidiyah Samarkand, Maturidiyah
Bukharah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, tetapi persoalan banyak
yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal
melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan
sifat-sifat itu sendiri, jadi Tuhan bersama-sama sifat-Nya kekal tetapi
sifat-sifat itu sendiri tidak kekal. Selanjutnya Maturidiyah Bukharah juga
berpendapat bahwa ayat-ayat yang menggambarkan bahwa Tuhan memiliki unsur-unsur
jasmani seperti tangan, itu adalah sifat, bukan anggota badan Tuhan. Jadi sifat yang dimaksud adalah sifat yang
sama dengan sifat-sifat lain seperti halnya ilmu, kehendak dan daya.[18]
b. Paham tentang perbuatan
manusia dan kehendak mutlak Tuhan
Mengenai perbuatan-perbuatan mansuia, Maturidiyah
Samarkand sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya
yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian, Maturidiyah Samarkand
mempunyai paham searah dengan paham Qadariyah.[19]
Selanjutnya menurut Maturidiyah Samarkand, segala
perbuatan manusia terjadi atas kehendak dan kemauan Tuhan. Dalam hal ini ada
dua perbuatan yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan
mengambil bentuk penciptaan daya, sedangkan perbuatan manusia mempergunakan
daya. Akan tetapi, daya menurut Maturidi
tidak sama dengan daya menurut Asy’ary. Menurut Al-Maturidi daya memberi peluang
bagi manusia untuk berperan dalam perbuatannya, maksudnya Tuhan adalah pencipta
yang melahirkan wujud suatu perbuatan, sedangkan manusia adalah pelaku yang
mempunyai pilihan (ikhtiar) dalam perbuatannya.[20]
Menurut golongan Bukhara, Tuhan tidak mempunyai
kewajiban apapun terhadap makhluk-Nya. Oleh karena itu, Tuhan tidak wajib
berbuat baik terhadap hamba-Nya. Pada perbuatan manusia terdapat daya yang
diciptakan oleh Tuhan, dan perbuatan itu sendiri dari manusia. Mengenai Al-Wa’ad wa al-Wa’id, menurut al-Bazdawi tidak mungkin Tuhan
melanggar janji-Nya untuk memberi balasan kepada orang yang berbuat baik,
tetapi sebaliknya bukan tidak mungkin Tuhan membatalkan janjinya untuk memberi
hukuman kepada orang yang berbuat jahat.[21]
c. Paham tentang
Iman
Menurut golongan Samarkand, iman adalah tasdiq bi
al-Qalb bukan semata-mata iqrar bi
al-Lisan, selanjutnya tasdiq seperti yang dipahami harus diperoleh dengan
ma’rifat.[22]
Meskipun demikian, ma’rifat bukanlah esensi iman
melainkan faktor penyebab hadirnya iman. Jadi menurut al-Maturidi iman adalah tasdiq
yang berdasarkan ma’rifat. Iman adalah mengetahui Tuhan dalam ke Tuhanan-Nya,
ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan segala sifat-Nya.[23]
Dalam hal ini, Maturidiyah Bukharah berpandangan bahwa
iman adalah tasdiq bi Al-qalb yaitu meyakini dan membenarkan dalam hati tentang
keesaan Allah dan iqrar bi al-Lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok
ajaran Islam secara verbal. Golongan ini mempunyai paham yang sama dengan kaum
Asy-ariyah bahwa akal tidak sampai pada kewajiban adanya Tuhan, iman tidak
dapat mengambil bentuk ma’rifat atau amal, tapi haruslah merupakan tasdiq saja.
Sedangkan Maturidiyah Bukharah berpendapat bahwa iman itu terdiri dari dua
aspek dalam struktur iman, salah satu aspeknya adalah petunjuk atau hidayah
Allah, dan hal ini tidak diciptakan,
sedangkan aspek yang kedua adalah yang diberi petunjuk yang merupakan peran
yang dimainkan manusia dan inilah yang diciptakan.[24]
d. Paham tentang akal dan wahyu
Menurut al-Maturidi golongan Samarkand, akal mengetahui
sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat buruk yang terdapat dalam
yang buruk. Dengan demikian, akal juga dapat mengetahui bahwa berbuat buruk
adalah buruk dan berbuat baik adalah baik, dan pengetahuan inilah yang
memastikan adanya perintah dan larangan.[25]
Dalam masalah baik dan buruk, Maturidiyah Samarkand
berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu
itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’i hanyalah mengikuti
ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Akal tidak selalu mampu
membedakan antara yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula mampu
mengetahui baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu dibutuhkan
untuk dijadikan sebagai pembimbing.[26]
Menurut golongan Bukhara, akal tidak dapat sampai kepada
kewajiban mengetahui adanya Tuhan, iman tidak bisa mengambil bentuk ma’rifat
atau amal, tetapi haruslah merupakan tasdiq. Batasan yang diberikan al-Bazdawi
tentang iman adalah menerima dalam hati dan lidah bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan Dia. Akibat dari paham demikian
ialah bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan sebelum
turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia.[27]
Dengan demikian, Maturidiyah Bukharah hanya mengakui
kemampuan akal mengetahui Tuhan, sedangkan wajib mengetahui Tuhan menurut
mereka tidak dapat diketahui kecuali dengan informasi wahyu. Al-Bazdawi
mengatakan bahwa tidak ada kewajiban sebelum Rasul datang, oleh karena iman
kepada Tuhan tidak wajib kecuali setelah datangnya wahyu.[28]
Selanjutnya mengenai perbuatan baik dan buruk, Maturidiyah Bukharah sependapat
dengan Maturidiyah Samarkand bahwa akal hanya dapat mengetahui baik dan buruk,
sedangkan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk tidak dapat
diketahui oleh akal tanpa adanya petunjuk wahyu.[29]
e. Paham Tentang Pelaku Dosa Besar
Mengenai dosa besar, al-Maturidiyah Samarkand sependapat
dengan al-Asy’ari bahwa orang
berdosa besar masih tetap mu’min.[30]
Menurut aliran ini, meskipun seseorang melakukan dosa
besar, dia masih tetap sebagai mukmin
karena adanya keimanan dalam dirinya. Hal ini tentu sejalan dengan konsep
keimanan al-Maturidi yang telah kita uraikan di atas bahwa iman adalah iqrar
wa-Tasdiq. Sehingga dengan demikian hati tidak akan terpengaruh oleh
perbuatan-perbuatan badan. Adapun balasan yang diterimanya nanti di akhirat
tergantung apa yang dilakukannya di dunia, sebab Tuhan akan menepatinya. Jika
pelaku dosa besar itu mati sebelum bertaubat dan Tuhan menghendaki masuk neraka
maka dia tidak akan kekal di dalamnya.[31]
Mengenai dosa besar, Golongan Bukharah mempunyai
pendapat yang sama dengan golongan Samarkand bahwa pelaku dosa besar masih
tetap sebagai mukmin sehingga jika dimasukkan ke dalam neraka akibat dosa
tersebut tetapi dia tidak akan kekal di dalamnya. Mengenai nasibnya nanti di
akhirat tergantung kepada kehendak mutlak Tuhan, bisa jadi dia mendapat ampunan
dan masuk surga atau ditimpa musibah terlebih dahulu kemudian dimasukkan dalam
surga.
f.
Paham Tentang Al-Qur’an
Dalam hal ini, al-Maturidi tidak sepaham dengan Mu’tazilah
tentang al-Qur’an. Sebagaimana
al-Asy’ari, al-Maturidi mengatakan bahwa kalam atau sabda Tuhan tidak
diciptakan tetapi bersifat qadim. Kalam Tuhan adalah sifat Azali
Tuhan, karena itu Ia qadim dan tidak baru.[32]
Al-Maturidi berpendapat bahwa Al-Qur’an (kalam Allah) terbagi
terbagi dalam dua bentuk. Pertama,
Kalam nafsi, yaitu kalam
yang ada pada dzat Allah Swt dan bersifat qadim bukan dalam bentuk hurup
dan suara. Kalam ini menjadi sifat Allah Swt sejak dahulu kala. Manusia
tidak dapat mengetahui hakikat-Nya. Kalam yang terdiri dari hurup dan
suara, yang disebut mushaf (kumpulan lembaran).[33]
g.
Paham Tentang Melihat Tuhan
Melihat Tuhan pada hari kemudian adalah hal yang dapat
terjadi. Pendapat al-Maturidiyah ini
berdasarkan pada Al-Qur’an surat Al-Qiyamah: 22-23 :
وجوه يومئذ ناضرة,
الى ربها ناظرة
Terjemahnya:
Wajah-wajah (orang mu’min) pada
hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”.[34]
Al-Maturidi yang menetapkan bahwa Allah SWT dapat
dilihat pada hari kiamat, menegaskan bahwa itu merupakan salah satu keadaan
khusus hari kiamat, sedangkan keadaan itu hanyalah Allah Swt yang mengetahui
bagaimana bentuk dan sifatnya. Manusia tidak mengetahui tentang hari kiamat
kecuali melalui ungkapan dan pernyataan yang menetapkannya. Membicarakan
bagaimana sebenarnya hari kiamat itu termasuk sikap yang melampaui batas.[35]
Dalam hal ini, Maturidiyah Bukharah dan Samarkand
sepaham dengan Asy’ariah. Al-Maturidi juga berpendapat bahwa Tuhan dapat
dilihat karena ia mempunyai wujud. Menurut al-Bazdawi, Tuhan dapat dilihat,
sungguhpun tidak mempunyai bentuk, tidak mengambil tempat dan tidak terbatas.[36]
C. Bazdawi dan
Ajaran-ajarannya
Salah seorang pengikut al-Maturidi ialah Abu al-Yusr Muhammad
al-Bazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi. Al-Bazdawi
mengetahui ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Al-Bazdawi sendiri memiliki
murid-murid, dan salah seorang dari mereka ialah Najm al-Din Muhammad
al-Nasafi (460-537 H),
pengarang buku al-‟Aqaid al-Nasafiyah.[37]
Diantara ajaran-ajaran al-Bazdawi adalah:
1.
Kemampuan
akal manusia
Tampaknya
al-Bazdawi sepaham dengan al-Maturidi dalam hal kemampuan akal manusia untuk
mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Akan tetapi, al-Bazdawi
berpendapat bahwa sebelum datangnya wahyu tidak ada kewajiban mengetahui Tuhan
dan berterima kasih kepada-Nya. Manusia tidak diwajibkan untuk mengerjakan
perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat. Menurut al-Bazdawi,
kewajiban-kewajiban hanya ditentukan oleh Tuhan, dan ketentuan-ketentuan Tuhan
itu hanya dapat diketahui melalui wahyu[38]
2.
Perbuatan
manusia
Al-Bazdawi
berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah. Allah membuatnya dan
mewujudkannya. Sedangkan manusia adalah pelaku yang sebenarnya. Perbuatan
manusia timbul dari dirinya dengan kebebasan dan kemampuan yang hadis (baru).
Perbuatan manusia itu bukan perbuatan Allah. Perbuatan Allah hanyalah
menjadikan dan mewujudkan. Sedangkan perbuatan manusia adalah melakukan bukan
mewujudkan.[39]
3.
Kehendak
dan Kekuasaan Tuhan
Al-Bazdawi
menyatakan bahwa Tuhan berbuat apa saja yang Ia kehendaki. Tak seorang pun bisa
melarang-Nya. Allah mungkin menyakiti hamba-Nya dan menguji mereka tanpa ada
dosa sebelumnya. Ia juga berpendapat bahwa perbuatan menganiaya, berbohong, dan
melanggar janji adalah mustahil bagi Allah.[40]
4.
Sifat-Sifat
Tuhan
Menurut
al-Bazdawi, Tuhan mempunyai sifat-sifat yaitu ilmu, hayat,
qudrah, dan quwwah. Tuhan
mengetahui dengan ilmu-Nya dan hidup dengan hayat-Nya. Sifat-sifat Allah itu kekal, tapi dengan
kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan, bukan dengan kekekalan sifat itu
sendiri.[41]
5.
Melihat
Tuhan
Menurut
al-Bazdawi Allah itu bisa dilihat nanti di akhirat. Dalil yang dipakai untuk
menguatkan pendapatnya adalah Surah al-A’raf (7): 143[42]
yang terjemahnya:
Ya Tuhanku,
nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau. Tuhan
berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit
itu.”[43]
6.
Iman
Kepada Tuhan
Menurut
al-Bazdawi, iman ialah meyakini dalam hati bahwa Allah-lah yang berhak
disembah dan diagungkan, dan diucapkan dengan lisan. Mempercayai semua
sifat-sifat Tuhan, nabi-nabi-Nya, dan semua rukun islam. Alasan yang
dikemukakan ialah karena iman tak akan terwujud tanpa dua unsur itu, yaitu
keyakinan dalam hati dan pengakuan dengan ucapan lisan.[44]
D.
Pengaruh Ajaran Al-Maturidiyah di Dunia Islam
Aliran
al-Maturidiyah ini telah meninggalkan pengaruh dalam dunia Islam. Hal ini bisa
dipahami karena manhajnya yang memiliki ciri mengambil sikap tengah antara aqal
dan dalil naqli, Aliran ini juga berusaha menghubungkan antara fikir dan amal,
mengutamakan pengenalan pada masalah-masalah yang diperselisihkan oleh banyak
ulama kalam, namun masih berkisar pada satu pemahaman untuk dikritisi
letak-letak kelemahannya.
Keistimewaan
yang juga dimiliki al-Maturidiyah bahwa pengikutnya dalam perselisihan atau
perdebatan tidak sampai saling mengkafirkan sebagaimana yang pernah terjadi di kalangan
khawarij, rawafidh dan qadariyah[45]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian-uraian sebelumnya, penulis dapat
menarik beberapa kesimpulan, yaitu:
- Aliran al-Maturidiyah muncul sebagai reaksi keras terhadap aliran Mu’tazilah. Tidak heran jika aliran ini banyak memiliki persamaan dengan aliran al-Asy’ariah, walaupun tidak menutup kemungkinan ada perbedaan diantara keduanya.
- Al-Maturidiyah pada perkembangan selanjutnya kemudian terbagi dua, yakni golongan Samarkand yang dipelopori oleh al-Maturidi sendiri beserta pengikut-pengikutnya, dan golongan Bukhara yang dipelopori oleh al-Bazdawi dan pengikut-pengikutnya. Paham ini terbagi dua oleh karena dalam kedua tokoh sentral al-Maturidiyah tersebut memiliki perbedaan dalam hal pemahaman teologi.
- Al-Maturidiyah Samarkand lebih dekat sistem teologinya dengan al-Mu’tazilah, sedangkan al-Maturidiyah Bukhara lebih mendekati pemikiran al-Asy’ariyah
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad. Tauhid Ilmu Kalam. Cet. I;
Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Al-Asy’ari, Imam Abi al-Hasan bin Ismail. Al-Ibanah
an Ushul al-Diniyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Al-Barsany, Noer Iskandar. Pemikiran Kalam Abu
Mansur al-Maturidi. Cet. I; Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Al-Magribi, Ali Abdul Fattah, Imam Ahlu al-Sunnah
wa al-Jamaah: AbuMansur al-Maturidi wa Arauhu al-Kalamiyah, Cet. I; t.tp:
Maktabah wahbah, 1985.
Anwar, Rosihan dan Abdul Razak. Ilmu Kalam.
Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2003.
----------------. Biografi dan Garis Besar
Pemikiran Kalam Ahlussunnah Wal Jamaah. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001.
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Bandung: Diponegoro, 2007.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam.
Jil.3. Cet. III; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1988.
Haq, Hamka. Dialog Pemikiran Islam. Makassar:
al-Ahkam, 2004.
Harahap, Syahrir dan Hasan Bakti Nasution.
Ensiklopedia Aqidah Islam. Cet. I; Jakarta: Perdana Media, 2003.
Izutsu,
Toshihiko. The Concept of Belief in Islamic Theology,
diterjemahkan Agus Fahri Husein, Analisa Sematik Iman dan Islam. Cet. I;
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Muhammad, Abdul Kadir bin Tahir, Al-Farqu Bainal
Firaq. Dar al-Kutub al-ilmiah:
Beirut: t.th.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Sejarah Analisa
Perbandingan. Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986.
Subhi, Ahmad Mahmud. Fi Ilm al-Kalam: Dirasah Falsafiyah. Iskandariah: Muassasah al
Saqafah al-Jam’iyah, 1982.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah
Islam II. Cet. XVI; Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Zahra, Imam Muhammad Abu. Tarikh al-Mazahib
al-Islamiyyah fi al-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyah,
diterjemahkan oleh Abdul Rahman Dahlan dan Ahmad Darib, dengan judul Aliran
Politik dan Aqidah dalam Islam. Cet. I; Logos Publishing House, 1996.
[1]Harun Nasution, Teologi Islam: Sejarah Analisa
Perbandingan (Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986), h. 61.
[2]Noer Iskandar Al-Barsany, Pemikiran Kalam Abu Mansur al-Maturidi (Cet.
I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 89.
[3]Ali Abdul Fatta al-Magribi, Imam Ahlussunnah wa al-Jamaah: Abu
Mansur al-Maturidi wa Arauhu al-Kalamiyah (Cet.I; t.tp: Maktabah
Wahbah, 1995), h. 11
[4]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islam II (Cet.
XVI; Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 296.
[5]Syahrir Harapan dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedia Aqidah
Islam (Cet. I; Jakarta Perdana Media, 2003), h. 73.
[6]Noer Iskandar. Al-Barsany, Bografi dan Garis Besar Pemikiran
Kalam Ahlussunnah Waljamaah (Cet. I; Jakarta;
Raja Grafindo Persada; 2001), h. 86
[7]Ibid
[8]Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: Pustaka
Setia, 1998), h. 190.
[11]Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h.
128.
[12]Noer Iskandar Al-Barasany, op. cit., h. 33.
[13]Imam Muhammad Abu Zahra, Tarikh Al-Mazahib al-Islamiyyah fi
al-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyah, Diterjemahkan oleh
Abdul Rahman Dahlan dan Ahmad Darib,
[14]Harun Nasution, op. cit., h. 78.
[15]Noer Iskandar, Al-Barsany, op. cit., h. 36.
[16]Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung:
Diponegoro), h. 408
[17]Noer Iskandar, Al-Barsany, loc. cit.
[18]Harun Nasution, op. cit., h. 137-138.
[20]Toshihiko Itzusu, The Concept of Belif in Islamic Theology,
Diterjemahkan Agus Fahri Husein, Analisa Semantik Iman dan Islam (Cet.
I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 239
[21]Harun Nasution, op. cit, h. 133-134.
[22]Rosihan Anwar dan Abdul Razak, Ilmu Kalam (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia,
2003), h. 149-150.
[23]Toshihiko Izutsu, op. cit., h. 239.
[25]Harun Nasution, op. cit., h. 91.
[26]Rosihan Anwar dan Abdul Razak, op. cit., h. 125.
[27]Harun Nasution, loc. Cit.
[28]Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam (Makassar:
al-Ahkam, 2004), h. 23-24.
[29]Harun Nasution, op. cit., h. 90.
[32] Imam Abi al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, Al-Ibanah an Ushuh
al-Diniyyah (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.tp) h. 31
[33] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, Jil. 3
(Cet. III; Jakarta:
PT. Ictiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 207
[34]Departemen Agama RI, op. cit., h. 461.
[35]Imam Muhammad Abu Zahra, op. cit., h. 220-221.
[36]Harun Nasution, op. cit., h. 140.
[39]Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi, Kitab
Ushul al-Din (Qahirah: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, 1963), h. 99.
[41]Ahmad Mahmud Subhi, Fi Ilm
al-Kalam: Dirasah Falsafiyah (Iskandariah: Muassasah al Saqafah
al-Jam’iyah, 1982), h. 193.
[42]Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi, op.
cit., h. 79.
[43]Departemen Agama RI, op. cit., h. 133.
[44] Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi, op. cit., h. 149
[45]Abdul Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq (Dar
al-Kutub al-ilmiah: Beirut: t.th). h, 282
No comments:
Post a Comment