Thursday, November 23, 2017

Contoh Resume



RESUME

Nama                          : Jumaeni
NPM               : 2 0 1 1 0 1 0 2 0 1 6
Jurusan          : Bahasa Indonesia

HAKIKAT BERBICARA
1.        Pengertian Berbicara
Berbicara ialah bentuk komunikasi dengan menggunakan media bahasa, berbicara merupakan proses penuangan gagasan dalam bentuk ujaran-ujaran. Ujaran-ujaran yang muncul merupakan perwujudan dari gagasan, pikiran, perasaan menjadi wujud ujaran.
Poerwadarminta (2005: 136) merumuskan bahwa berbicara dapat diartikan dengan berkata, bercakap, berbahasa. Juga dapat dipahami dengan melahirkan gagasan atau pendapat dengan perkataan.
Menurut Abidin (2013:125) berbicara adalah kemampuan seseorang untuk mengeluarkan ide, gagasan, ataupun pikirannya kepada orang lain melalui media bahasa lisan.
Berbicara juga dapat dipahami dengan kemampuan seseorang atau peserta didik untuk meluangkan ide, gagasan dan pikirannya pada suatu tempat atau di dalam ruang kelas dalam satu lingkup pembahasan tertentu atau mata pelajaran tertentu.
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan batasan berbicara berdasarkan teori yang dikemukakan oleh para pakar komunikasi yaitu:
a.       Berbicara merupakan ekspresi diri
b.      Berbicara merupakan kemampuan mental motorik
c.       Berbicara merupakan proses simbolik
d.      Berbicara terjadi dalam konteks ruang dan waktu
e.       Berbicara merupakan keterampilan berbahasa yang produktif (Nopilia, 2013: 1)
Berbicara secara umum dapat diartikan suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, isi hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dapat dipahami oleh orang lain. (Nopilia, 2013: 1). Pengertiannya secara khusus banyak dikemukakan oleh para pakar.
Tarigan (Nopilia, 2013: 1), misalnya, mengemukakan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan.
Berbicara pada hakikatnya merupakan suatu proses berkomunikasi sebab didalamnya terjadi pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat lain. Proses komunikasi itu dapat digambarkan pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat lain. Dalam proses komunikasi terjadi pemindahan pesan dari komunikator (pembicara) kepada komunikan (pendengar).
Komunikator adalah seseorang yang memiliki pesan. Pesan yang akan disampaikan kepada komunikan lebih dahulu diubah ke dalam simbel yang dipahami oleh kedua belah pihak. Simbel tersebut memerlukan saluran agar dapat dipindahkan kepada komunikan.
Bahasa lisan adalah alat komunikasi berupa simbol yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Saluran untuk memindahkan adalah udara. Selanjutnya simbol yang disalurkan lewat udara diterima oleh komunikan. Karena simbol yang disampaikan itu dipahami oleh komunikan, komunikan dapat memahami pesan yang disampaikan oleh komunikator.
Tahap selanjutnya, komunikan memberikan umpan balik kepada komunikator. Umpan balik adalah reaksi yang timbul setelah komunikan memahami pesan. Reaksi dapat berupa jawaban atau tindakan. Dengan demikian, komunikasi yang berhasil ditandai oleh adanya interaksi antara komunikator dengan komunikan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peristiwa komunikasi dapat berlangsung apabila dipenuh sejumlah persyaratan berikut:
1)      Komunikator      à  orang yang menyampaikan pesan
2)      Pesan                  à isi pembicaraan
3)      Komunikan        à orang yang menerima pesan
4)      Media                 à bahasa lisan
5)      Sarana                à  waktu, tempat, suasana, peralatan yang digunakan dalam penyampaian pesan.
6)      Interaksi             à  searah, dua arah, atau multiarah. (Nopilia, 2013: 2)
  Berbicara sebagai salah satu bentuk komunikasi akan mudah dipahami dengan cara membandingkan diagram komunikasi dengan diagram peristiwa berbahasa. Berbicara merupakan bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis, semantik, dan linguistik.
  Pada saat berbicara seseorang memanfaatkan faktor fisik yaitu alat ucap untuk menghasilkan bunyi bahasa. Bahkan organ tubuh yang lain seperti kepala, tangan, dan roman mukapun dimanfaatkan dalam berbicara.
  Faktor psikologis memberikan andil yang cukup besar terhadap kelancaran berbicara. Stabilitas emosi, misalnya, tidak saja berpengaruh terhadap kualitas suara yang dihasilkan oleh alat ucap tetapi juga berpengaruh terhadap keruntutan bahan pembicaran.
Berbicara tidak terlepas dari faktor neurologis yaitu jaringan syaraf yang menghubungkan otak kecil dengan mulut, telinga, dan organ tubuh lain yang ikut dalam aktivitas berbicara.
Demikian pula faktor semantik yang berhubungan dengan makan, dan faktor liguistik yang berkaitan dengan struktur bahasa selalu berperan dalam kegiatan berbicara. Bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap dan kata-kata harus disusun menurut aturan tertentu agar bermakna.
Berbicara merupakan tuntutan kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial (homo homine socius) agar mereka dapat berkomunikasi dengan sesamanya Stewart dan Kenner Zimmer (Nopilia, 2013: 3) memandang kebutuhan akan komunikasi yang efektif dianggap sebagai suatu yang esensial untuk mencapai keberhasilan dalam setiap individu, baik aktivitas individu maupun kelompok.
Kemampuan berbicara yang baik sangat dibutuhkan dalam berbagai jabatan pemerintahan, swasta, juga pendidikan. Seorang pemimpin, misalnya, perlu menguasai keterampilan berbicara agar dapat menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi terhadap program pembangunan.
Seorang pedagang perlu menguasai keterampilan berbicara agar dapat meyakinkan dan membujuk calon pembeli. Demikian halnya pendidik, mereka dituntut menguasai keterampilan berbicara agar dapat menyampaikan informasi dengan baik kepada anak didiknya.
Beberapa prinsip umum berbicara menurut Tarigan (Nopilia, 2013: 5), yaitu:
a.       Membutuhkan paling sedikit dua orang
b.      Mempergunakan studi linguistik yang dipahami bersama
c.       Merupakan suatu pertukaran peran antara pembicara dan pendengar. 
Dengan demikian, berbicara dapat disimpulkan bahwa kegiatan menuangkan ide, gagasan, pikiran kepada orang lain melalui media lisan pada suatu tempat tertentu sehingga maksud dari orang tersebut dapat dipahami oleh orang lain. 
2.        Jenis-Jenis Berbicara
Dari berbagai literatur bahasa maupun pendidikan menuliskan bahwa jenis-jenis berbicara meliputi diskusi, percakapan, pidato menghibur, ceramah, bertelpon, dan sebagainya.
Menurut Pratama (2013: 4) bahwa terdapat berbagai titik pandang yang digunakan orang dalam mengklasifikasi berbicara, paling sedikit ada lima landasan yang digunakan dalam mengklasifikasi berbicara.
Kelima landasan tersebut adalah:
a.       Situasi,
Aktivitas berbicara selalu terjadi atau berlangsung dalam suasana, situasi, dan lingkungan tertentu. Situasi dan lingkungan itu dapat bersifat formal atau resmi. Situasi dan lingkungan itu mungkin pula bersifat informal atau tak resmi. Setiap situasi itu menuntut keterampilan berbicara tertentu.
Dalam situasi formal pembicara dituntut berbicara secara formal. Sebaliknya dalam situasi non formal, pembicara harus berbicara secara non formal.
Kegiatan berbicara yang bersifat informal banyak dilakukan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kegiatan ini dianggap perlu bagi manusia dan perlu dipelajari.
Adapun Jenis-jenis (kegiatan) berbicara informal meliputi:
1)      Tukar pengalaman
2)      Percakapan
3)      Menyampaikan berita
4)      Menyampaikan pengumuman
5)      Bertelpon
6)      Memberi petunjuk (Bagus, 2015: 2)
Di samping kegiatan berbicara informal, kita temui pula kegiatan berbicara yang bersifat formal. Jenis-jenis (kegiatan) berbicara formal tersebut mencakup:
1)       Ceramah
2)      Perencanaan dan penilaian
3)      Interview
4)      Prosedur parlementer
5)      Bercerita. (Bagus, 2015: 2).
b.      Tujuan
Pada umumnya tujuan orang yang berbicara adalah untuk menghibur, menginformasikan, menstimulasi, meyakinkan, atau menggerakkan pendengarnya. Sejalan dengan tujuan pembicara tersebut di atas dapat pula kita klasifikasi berbicara menjadi lima jenis, yakni:
1)      Berbicara menghibur
2)      Berbicara menginformasikan
3)      Berbicara menstimulasi
4)      Berbicara meyakinkan
5)      Berbicara menggerakkan (Pratama, 2013: 7).
Berbicara menghibur biasanya bersuasana santai, rileks, dan kocak. Soal pesan bukanlah tujuan utama. Namun tidak berarti bahwa berbicara menghibur tidak dapat membawakan pesan.
Dalam berbicara menghibur tersebut pembicara berusaha membuat pendengarnya senang, gembira, dan bersukaria. Contoh jenis berbicara menghibur ini, antara lain lawakan, guyonan dalam ludruk, Srimulat, cerita Kabayan, cerita Abu Nawas. (Syahri, 2012: 3)
Berbicara menginformasikan bersuasana serius, tertib, dan hening. Soal pesan merupakan pusat perhatian, baik pembicara maupun pendengar. Dalam berbicara menginformasikan pembicara berusaha berbicara jelas, sistematis, dan tepat isi agar informasi benar-benar terjaga keakuratannya. Pendengar pun biasanya berusaha menangkap informasi yang disampaikan dengan segala kesungguahan
Berbicara menstimulasi juga bersuasana serius, kadang-kadang terasa kaku. Pembicara berkedudukan lebih tinggi dari pendengarnya. Status tersebut dapat disebabkan oleh wibawa, pengetahuan, pengalaman, jabatan, atau fungsinya melebihi pendengarnya.
Dalam berbicara menstimulasi, pembicara berusaha membangkitkan semangat pendengarnya sehingga pendengar itu bekerja lebih tekun, berbuat baik, bertingkah laku lebih sopan, belajar lebih berkesinambungan (Pratama, 2013: 7).
Pembicaraan biasanya dilandasi oleh rasa kasih sayang, kebutuhan, kemauan, harapan, dan inspirasi pendengar. Adapun contoh berbicara menstimulasi tersebut antara lain:
1)      Nasehat guru terhadap siswa yang malas, melalaikan tugasnya, 
2)      Pepatah, petitih, pengajaran ayah kepada anaknya yang kurang senonoh (Pratama, 2013: 7).
Berbicara meyakinkan, sesuai namanya, bertujuan meyakinkan pendengarnya. Jelas suasananya pun bersaifat serius, mencekam, dan menegangkan. Melalui keterampilan berbicara, pembicara berusaha mengubah sikap pendengarnya dari tidak setuju menjadi setuju, dari tidak simpati menjadi simpati, dari tidak mau membantu menjadi mau membantu.
Dalam berbicara meyakinkan itu, pembicara harus melandaskan pembicaraannya kepada argumentasi yang nalar, logis, masuk akal, dan dapat dipertanggung jawabkan dari segala segi.
Berbicara menggerakkan pun menuntut keseriusan baik dari segi pembicara maupun dari segi pendengarnya. Berbicara atau pidato menggerakkan merupakan kelanjutan pidato membangkitkan semangat.
Jika dalam berbicara meyakinkan dan membangkitkan semangat hasil perbaikan mengarah kepada kepentingan pribadi, maka pidato menggerakkan bertujuan mencapai tujuan bersama (Pratama, 2013: 8).
Pembicara dalam berbicara menggerakkan haruslah orang yang berwibawa, tokoh idola, panutan masyarakat. Melalui kepintaran berbicara, kecakapannya membakar emosi dan semangat, kebolehannya memanfaatkan situasi, ditambah penguasaannya terhadap ilmu jiwa massa, pembicara dapat menggerakkan massa ke arah yang diingininya. Misalnya, Bung Tomo dapat membakar semangat juang para pemuda pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. (Bagus, 2015: 8)
c.       Metode penyampaian,
Ada empat cara yang biasa digunakan orang dalam menyampaikan pembicaraannya. Keempat cara yang dimaksud adalah :
1)      Penyampaian secara mendadak
2)      Penyampaian berdasarkan catatan kecil
3)      Penyampaian berdasarkan hafalan
4)      Penyampaian berdasarkan naskah (Pratama, 2013: 8).
Berbicara mendadak terjadi karena seseorang tanpa direncanakan sebelumnya harus berbicara di depan umum. Hal ini dapat terjadi karena tuntutan situasi. Misalnya karena pembicara yang telah direncanakan berhalangan tampil, maka terpaksa secara mendadak dicarikan penggantinya atau dalam suatu pertemuan seseorang diminta secara mendadak memberikan kata sambutan, pidato perpisahan, dan sebagainya. Dalam situasi seperti ini pembicara harus menggunakan pengalamannya bagi penyusunan organisasi pembicaraannya (Pratama, 2013: 9).
Sejumlah pembicara menggunakan catatan kecil dalam kartu, biasanya berupa butir-butir penting sebagai pedoman berbicara. Berlandaskan catatan itu pembicara bercerita panjang lebar mengenai sesuatu hal.
Cara seperti inilah yang dimaksud dengan berbicara berlandaskan catatan kecil. Berbicara seperti itu dapat berhasil apabila pembicara sudah mempersiapkan dan menguasai isi pembicaraan secara mendalam sebelum tampil di depan umum (Pratama, 2013: 10).
Pembicara yang dalam taraf belajar mempersiapkan bahan pembicaraannya dengan cermat dan dituliskan dengan lengkap. Bahan yang ditulis itu dihafalkan kata demi kata, lalu tampil berbicara berdasarkan hasil hafalannya. Cara berbicara seperti itu memang banyak kelamahannya.
Pembicara mungkin lupa akan beberapa bagian dari isi pidatonya, perhatiannya tidak bisa diberikan kepada pendengar, kaku, dan kurang penyesuaian pada situasi yang ada.
Pembicara membacakan naskah yang disusun rapi. Berbicara berlandaskan naskah dilaksanakan dalam situasi yang menuntut kepastian, bersifat resmi, dan menyangkut kepentingan umum.
Kelemahan berbicara berdasarkan naskah, antara lain:
1)      Perhatian pembicara lebih tertuju pada naskah,
2)      Suasana terlalu resmi sehingga kaku,
3)      Pembicara kurang kontak dengan pendengar (Pratama, 2013: 11).
d.      Jumlah penyimak,
Komunikasi lisan selalu melibatkan dua pihak, yakni pendengar dan pembicara. Jumlah peserta yang berfungsi sebagai penyimak dalam komunikasi lisan dapat bervariasi misalnya satu orang, beberapa orang (kelompok kecil), dan banyak orang (kelompok besar). (Syahri, 2012: 5)
Berdasarkan jumlah penyimak itu, berbicara dapat dibagi atas tiga jenis, yaitu:
1)      berbicara antar pribadi,
2)      berbicara dalam kelompok kecil,
3)      berbicara dalam kelompok besar (Syahri, 2012: 5).
Berbicara antar pribadi, atau bicara empat mata, terjadi apabila dua pribadi membicarakan, mempercakapkan, merundingkan, atau mendiskusikan sesuatu. Suasana pembicaraan mungkin serius dan mungkin pula santai, akrab, dan bebas. Suasana pembicaraan sangat tergantung kepada masalah yang dipercakapkan, hubungan antar dua pribadi yang terlibat. Dalam berbicara antar pribadi, pembicara dan pendengar berganti peran secara otomatis sesuai dengan tuntutan situasi.
Berbicara dalam kelompok kecil terjadi apabila seorang pembicara menghadapi skelompok kecil pendengar, misalnya tiga sampai lima orang. Pembicara dan pendengar dapat bertukar peran, misalnya, setelah pembicara selesai berbicara diadakan tanya jawab atau diskusi. Mobilitas pertukaran peran pembicara menjadi penyimak atau penyimak menjadi pembaca dalam berbicara dalam kelompk kecil tidaklah setinggi mobilitas pertukaran peran dalam berbicara antar pribadi (Syahri, 2012: 6).
Berbicara dalam kelompok besar terjadi apabila seorang pembicara menghadapi pendengar berjumla besar atau massa. Para pendengar dalam berbicara jenis ketiga ini dapat homogen dan mungkin pula heterogen.
Dalam lingkungan pendidikan, misalnya, para pendengar homogen baik dalam usia maupun dalam kemampuan. Begitupula dengan rapat besar di lapangan terbuka, di gedung parlemen, atau kampanye pemilihan umum para pendengarnya sangat heterogen (Bagus, 2015: 11).
Mobilitas perpindahan peran dari pembicara menjadi pendengar atau dari pendengar menjadi pembicara dalam jenis berbicara yang ketiga ini relatif kecil bahkan kadang-kadang tidak ada sam sekali. Jika berbicara dalam kelompok besar itu terjadi di ruang kelas, maka ada kesempatan bertanya, mengomentari, menyanggah terhadap isi pembicaraan yang telah disampaikan pembicara.
Ini berarti bahwa pendengar dapat pula berperan sebagai pembicara. Bila bertanya dalam kelompok besar itu terjadi di luar bidang pendidikan seperti rapat raksasa, kampanye pemilihan umum, pidato resmi, khotbah di masjid, dan sejenisnya, maka sudah dapat dipastikan tidak ada kesempatan bertanya, berkomentar, atau menyanggah. Dalam situasi seperti ini jelas ada perubahan atau pertukaran peran dari pembicara menjadi pendengar atau dari pendengar menjadi pembicara.
Pembicara dan pendengar dalam berbicara secara pribadi mungkin sama dan mungkin berbeda kualitas. Percakapan antara guru dengan siswanya merupakan contoh kualitas pembicara (guru) lebih tinggi dari siswa. Percakapan yang terjadi antara dua sahabat, teman sekelas melukiskan kualitas pembicara dan pendengar kurang lebih sama (Bagus, 2015: 11).
Pembicara dalam berbicara dalam kelompok kecil itu berasal dari satu kelas suatu jenjang sekolah, maka kualitas anggota relatif sama. Kualitas pembicara dalam berbicara dalam kelompok besar pada umumnya dapat dikatakan melebihi kualitas pendengar. Perbedaan tersebut dapat disebabkan berbagai hal seperti tingkat pendidikan, jabatan, integritas pribadi dan sebagainya.
e.       Peristiwa khusus
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering manghadapi berbagai kegiatan. Sebagian dari kegiatan itu dikategorikan sebagai peristiwa khusus, istimewa, atau spesifik. Contoh kegiatan khusus itu adalah ulang tahun, perpisahan, perkenalan, pemberian hadiah.
Peristiwa itu dapat berlangsung di semua tempat seperti di rumah, di kantor, di gedung pertemuan dan sebagainya. Dalam setiap peristiwa khusus tersebut di atas dilakukan upacara tertentu berupa sambutan atau pidato singkat seperti pidato selamat datang, selamat atas kesuksesan, selamat jalan, selamat berkenalan dan sebagainya (Syahri, 2012: 7).
Berdasarkan peristiwa khusus itu, berbicara atau pidato dapat digolongkan dalam enam jenis, yakni:
1)      Pidato presentasi,
2)      Pidato penyambutan,
3)      Pidato perpisahan,
4)      Pidato jamuan (makan malam).
5)      Pidato perkenalan,
6)      Pidato nominasi (mengunggulkan). (Syahri, 2012: 8)
Sesuai dengan peristiwanya, maka isi pidato pun harus pula mengenai peristiwa yang berlangsung. Pidato presentasi ialah pidato yang dilakukan dalam suasana pembagian hadiah. Pidato sambutan atau penyambutan berisi ucapan selamat datang pada tamu.
Pidato perpisahan berisi kata-kata perpisahan. Pidato jamuan makan malam berupa ucapan selamat, mendoakan kesahatan buat tamu dan sebagainya. Pidato memperkenalkan berisi penjelasan pihak yang memperkenalkan tentang nama, jabatan, pendidikan, pengalaman kerja, keahlian yang diperkenalkan kepada tuan rumah. Pidato mengunggulkan berisi pujian, alasan, mengapa sesuatu itu diunggulkan. (Syahri, 2012: 13)
3.      Konsep Dasar Pembelajaran Berbicara
Berbicara sangat erat kaitannya dengan kegiatan memproduksi ide. Ide yang dimaksud adalah buah pikiran yang dihasilkan pembicara berdasarkan berbagai sumber yang telah diketahui.
Ide dapat diperoleh melalui pengamatan, pengalaman, dan imajinasi kemudian diolah secara cermat oleh otak pembicara dengan melibatkan seluruh komponen kemampuan yang dimiliki oleh individu tersebut melalui kegiatan berfikir dan berimajinasi.
Segala sesuatu yang ada di dunia ini dapat menjadi sumber ide dari pembicara. Fenomena tersebut selanjutnya ditangkap oleh seorang pembicara sebagai sebuah rangsangan.
Rangsangan yang berhasil ditangkap oleh pembicara tersebut selanjutnya diolah oleh si pembicara dengan menggunakan kemampuan berfikirnya ataupun kemampuannya dalam berimajinasi.
Ide yang telah diolah, selanjutnya diorganisasikan oleh pembicara dengan menggunakan keterampilannya berbahasa (Abidin, 2013: 127), keterampilan berbahasa adalah kemampuan yang secara linguistik dan juga organis yaitu kemampuan menggunakan organ tubuh penghasil bunti secara optimis.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan berbicara seseorang, faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Kepekaan terhadap fenomena, yaitu berhubungan dengan kemampuan pembicara untuk menjadikan sebuah fenomena sebagai sebuah sumber ide.
b.      Kemampuan kognisi dan atau imajinasi, yaitu berhubungan dengan daya dukung kognisi dan imajinasi pembicara.
c.       Kemampuan berbahasa, yaitu kemampuan pembicara mengemas ide dengan bahasa yang baik dan benar.
d.      Kemampuan psikologis, yaitu berhubungan dengan kejiwaan pembicara yang mencakup keberanian, ketenangan, dan daya adaptasi psikologis ketika berbicara.
e.       Kemampuan performa, yaitu berhubungan dengan praktik berbicara dengan menggunakan berbagai gaya bahasa yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan tujuan pembicaraannya. (Abidin, 2013: 128)
Perumusan faktor berbicara tersebut di atas, sangat erat kaitannya dengan tujuan dari berbicara. Sebab faktor menjadi alasan seseorang pembicara untuk berbicara atau dengan kata lain, faktor berbicara menjadi penyebab utama pembicara untuk berbicara sehingga akan tampak tujuan dari pembicara tersebut dalam berbicara.
Tujuan berbicara merupakan pedoman bagi pembicara untuk membangun, mengemas, dan menyampaikan idenya untuk  sebuah pembicaraan tertentu sehingga akan tampak perbedaan yang akan mengarahkannya pada penggunaan ide yang dikembangkan.
Adapun tujuan berbicara menurut Abidin (2013: 129) adalah sebagai berikut:
a.       Informatif, yaitu tujuan berbicara yang dipilih pembicara ketika bermaksud menyampaikan gagasannya untuk membangun pengetahuan pendengar.
b.      Rekreatif, yaitu tujuan berbicara untuk memberikan kesan menyenangkan bagi diri pembicara dan pendengar dengan niat untuk menghibur pendengar sehingga pemdengar menjadi merasa terhibur oleh adanya pembicara.
c.       Persuasif, yaitu tujuan berbicara yang menekankan adanya daya bujuk sebagai kekuatannya, tipe ini lebih menekankan pada usaha mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembicara melalui penggunaan bahasa halus dan penuh daya pikat.
d.      Argumentatif, yaitu tujuan berbicara untuk meyakinkan pendengar atas gagasan yang disampaikan oleh pembicara dengan menggunakan alasan-alasan yang sifatnya rasional dalam bahan pembicaraan yang digunakan oleh pembicara.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa keempat tujuan berbiacara tersebut di atas, merupakan salah satu indikator penting dalam kegiatan berbicara.
Adapun indikator berbicara yang dimaksud adalah:
a.       Pemahaman pendengaran.
b.      Perhatian pendengar.
c.       Cara pandang pendengar.
d.      Perilaku pendengar (Abidin, 2013: 130).
Oleh sebab itu, maka pembelajaran berbicara merupakan seperangkat aktivitas peserta didik untuk  mengungkapkan gagasannya secara lisan di bawah bimbingan, arahan, dan motivasi guru. Artinya bahwa pembelajaran berbicara bukan hanya sekedar berorientasi pada kemampuan peserta didik.
Namun mencurahkan seluruh kemampuan peserta didik yang bermula dari memperoleh ide, pembentukan ide, pengemasan ide, sampai pada penyampaian ide. Namun pada hakikatnya ialah bertujuan agar peserta didik tidak hanya terampil berbicara, namun juga mereka dituntut untuk memiliki kreatifitas yang tinggi dalam hal berbicara.






















No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...