Monday, November 20, 2017

Metode Kritik Sanad



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Al-Quran sebagai sumber hukum Islam pertama dan utama merupakan wahyu Allah kepada manusia, Allah adalah zat absolute yang tidak terbatas unsur-unsur material, sedangkan manusia merupakan makhluk yang tidak terlepas dari unsur material. Karena perbedaan subtansi tersebut manusia dalam berinteraksi langung dengan Allah sangat terbatas olehnya itu Allah menurunkan kitab sucu al-Quran sebagai manifestasi dirinya melalui perantara malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad untuk kemudian dijarkan kepada seluruh manusia.
Nabi Muhammad Saw sebagai manusia yang memiliki otoritas menafsirkan al-Quran telah tiada 14000 tahun lalu, sedangkan kehidupan manusia postmodern dewasa ini kian kompleks, ajaran Islampun kian meluas ke berbagai wilayah dengan bahasa dan kebudayaan yang berbeda-beda boleh jadi tidak sesuai lagi diwaktu dan tempat al-Quran pertama kali diturunkan. Sementara keyakinan umat islam terhadap al-Quran sebagai sumber hukum adalah mutlak berlaku sepanjang zaman, kapan dan dimanapun.
Al-Quran sebagai petunjuk harus dapat dpetunjuk, pahami dengan baik oleh manusia sebagai petuntuk dan sumber hukum dengan melakukan penafsiran, penakwilan dan menerjemahkan agar al-Quran dapat membumi menjadi semacam petunjuk jalan bagi manusia
bagi manusia


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan diatas dapatlah dirumuskan sebagai berikut:
1.      Apakah yang Dimaksud dengan Metode Kritik Sanad?
2.      Bagaimanakah Sejarah dan Perkembangan Metode Kritik Sanad?
3.      Bagaimanakah Urgensi Mempelajari Metode Kritik Sanad?



BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Metode Kritik Sanad
Metode berasal dari Bahasa Yunanimethodos yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka, metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Fungsi metode berarti sebagai alat untuk mencapai tujuan, atau bagaimana cara melakukan atau membuat sesuatu.[1]
Kata kritik merupakan alih bahasa dari kata Naqd[2] yang berarti berusaha menemukan kebenaran.[3] Namun kritik yang dimaksud disini adalah upaya mengkaji hadis rasulullah Saw. untuk menentukan hadis yang benar-benar datang dari Nabi Muhammad Saw.[4]
Kata sanad dalam bahasa arab sinonim dengan kata da’ama yang mengandung arti menopang atau menyangga,[5] jamaknya Asnad dan Sanadat Sedangkan menurut istilah hadis, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jamaah dan Al-Thiby mengatakan bahwa sanad adalah:
الإخبار عن طريق المتن“Berita tentang jalan matan”. Yang lain menyebutkan: سلسلة الجال الموصلة للمتن“ Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadis), yang menyampaikannya kepada matan hadis”. Ada juga yang menyebutkan: سلسلة الرواة الذين نقلوا المتن مصدره الاول“ silsilah perawi yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama.[6]Sementara Drs. Fathur Rahman dalam bukunya Ikhtisar Musthalahul Hadis mengatakan bahwa sanad ialah jalan yang dapat menghubungkan matnu’l-Hadist kepada junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. misalnya seperti kata Bukhary:
حدثنا محمد بن المثنى قال: حدثنا عبد الوهاب الثقفى قال: حدثنا أيوب عن أبى قلابة عن أنس عن النبى صلعم: ثلاث من كن .....(رواه البخارى)

Maka matnu’l-Hadist “Tsalatsun…” diterima oleh al-Bukhary melalui sanad pertama Muhammad ibn al-Mutsanna, sanad kedua ‘Abdul-Wahhab-Ats-Tsaqafy, sanad ketiga Ayyub, sanad keempat Abi Qilab dan seterusnya sampai sanad terakhir, Anas r.a., seorang shahabat yang langsung menerima sendiri dari Nabi Muhammad s.a.w.[7]Dengan demikian al-Bukhary itu menjadi sanad pertama dan rawy terakhir bagi kita.
Sedangkan kata hadist diberi pengertian yang berbeda-beda oleh para ulama; perbedaan-perbedaan pandangan itu, lebih disebabkan oleh terbatasnya dan luasnya objek tinjauan masing-masing yang tentu saja mengandung kecendrungan pada aliran ilmu yang dimiliki oleh ahlinya. Misalnya ulama hadist mendefinisikan hadist sebagai segala sesuatu yang diberikan dari Rasulullah Saw. Baik berupa sabda, perbuatan, takrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Rasulullah Saw.[8]
            Metode kritik sanad hadis ialah suatu cara yang sistematis dalam melakukan penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu perawi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran kualitas  hadis.
B.    Sejarah Munculnya Kritik Sanad
Kritik sanad hadis pada masa hidup rasulullah s.a.w. dan masa khalifah yang empat belum ditemukan. Hal itu dapat dipahami karena para periwayat hadis pada dua masa tersebut disepakati para Muhaddisin sebagai masa berkumpulnya periwayat hadis yang adil.[9] Perhatian ulama terhadap sanad hadis dipicu oleh ditemukannya hadis palsu yang diciptakan oleh orang-orang zindiq dan orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu.
Pemalsuan hadis pertama kali ditemukan pada masa Ali ibn Abi Thalib.[10] Hadis-hadis palsu yang muncul pada masa itu diantaranya didorong karena faktor-faktor membela kepentingan politik, membela aliran madzhab, membela madzhab fiqh, dan merusak islam.[11] Diantara hadis palsu  tersebut adalah hadis yang dibuat oleh orang Syi’ah untuk memuliakan Ali ibn Abi Thalib, dan hadis palsu yang dibuat oleh orang-orang Mu’awiyah.
Pembukuan hadis secara resmi dan massal dilakukan pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz (memerintah 99-101 H).[12] Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab al-Zuhri al-Madani (50-124 H) adalah orang yang diberikan kepercayaan untuk membukukan hadis, beliau dianggap telah berjasa menyebarkan hadis kepada masyarakat Islam hingga menembus berbagai zaman. Hal ini diakui oleh Imam Malik ibn Anas bahwa al-Zuhri adalah orang yang pertama kali membukukan hadis, bahkan beliau banyak menampung hadis-hadis yang telah dikumpulkan oleh al-Zuhri.[13]
Kritik sanad hadis sebagai salah satu bagian terpenting dalam jajaran ilmu hadis muncul dan berkembang seiring dengan perkembangan hadis itu sendiri, terutama ketika muncul kativitas para ulama dan pengumpulan hadis dengan memilah-milah serta membuat kategori hadis-hadis tersebut.
Aktivitas ini marak terjadi pada abad ke-3 H. Namun demikian, bukan berarti bahwa di era sebelumnya sama sekali tidak terjadi kegiatan yang demikian ini. Jika telah disepakati bahwa kritik dipahami sebagai sebuah upaya untuk memilah-milih atau membedakan antara yang benar dan yang salah atau antara yang sahih dan yang tidak, maka dapat dipahami bahwa kegiatan kritik hadis telah ada sejak zaman Rasulullah, meski disadari bahwa kegiatan tersebut masih dilakukan dalam bentuk yang sangat sederhana. Kritik hadis di masa Rasulullah dilakukan dalam bentuk konfirmasi, yakni para sahabat yang tidak secara langsung mendengar sebuah hadis dari beliau, tetapi dari sahabat lain yang mendengarkannya, mereka mengkonfirmasikannya kepada Rasulullah.
Fitnah yang menimmpa kaum muslimin tersebut, di samping berimpliksi negatif dengan terkotak-kotanya pada garis-garis kepentingan politik yang kemudian masing-masing mencari legitimasi syar’i yang mendukung kepentingan politiknya itu, ternyata juga memiliki implikasi positif bagi pengembangan  ilmiah kritik sanad hadis. Bahkan momentum tersebut merupakan tonggak sejarah bagi pengembangan model kritik sanad yang pada tahap berikutnya mulai diefektifkan penggunaannya.  Menanggapi hal ini, Ibn Sarin (33 – 110 H). berkomentar bahwa pada mulanya kaum muslimin tidak begitu menanyakan sanad, namun setelah terjadinya fitnah mereka selalu mempertanyakan dari siapa hadis itu diriwayatkan.
1.      Kritik Sanad di Masa Rasulullah
Pada bahasan sebelumnya telah dikemukakan bahwa kritik hadis pada masa Rasulullah berlangsung demikian sederhana yakni sebagai langkah konfirmasi belaka. Perkembangan awal kritik hadis yang demikian ini, agaknya dimotivasi oleh kondisi yang sangat memungkinkan untuk proses konfirmasi tersebut. Karena di era ini sumber asli dari seluruh sandaran hadis masih hidup, yakni Rasulullah sendiri.
2.      Kritik SanadMasa Sahabat
Jika di era Rasulullah kritik hadis mengambil bentuk konfirmatif, maka para era sahabat, tampilkan kritik hadis lebih bersifat komparatif. Untuk mendukung tesis tersebut, penulis kemukakan beberapa kasus yang dapat memperkuatnya; pertama, peristiwa yang terjadi di saat seorang nenek-nenek datang kepada Abu Bakar untuk mempermasalahkan warisan dari harta yang ditinggalkan cucunya.
3.      Kritik Sanad Era Tabi’in dan ‘Atba al-tabi’in hingga Kodifikasi Hadis (Abad II-III H).
Seiring dengan perjalanan sejarah hadis yang semakin digoyangkan oleh berbagai kasus manipulasi hadis, menuntut para ulama untuk lebih bersikap ekstra ketat dalam melakukan kritik hadis. Jika pada tahap sebelumnya upaya kritik tersebut hanya dilakukan oleh para ulama di lingkup satu daerah saja, maka pada era tersebut perjalanan (rihlah) ilmiah ke berbagai pelosok daerah semakin intensif dilakukan. Sebagai konsekuensi dari rihlah yang demikian ini, kemudian bermunculan beberapa kegiatan kritik dengan tokoh-tokoh kritikus termashur yang memotorinya.
4.      Kaedah Keaslian Sanad Hadis sebagai Standarisasi Kritik
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian atau kritik hadis itu berorientasi kepada hadis yang tergolong pada klasifikasi ahad dan tidak pada yang mutawatir. Orientasi kritik yang demikian ini lebih dimotivasi oleh karena hadis mutawatir itu telah memberikan akurasi yang pasti sifatnya (yufid al-qath). Sayangnya hadis-hadis Rasulullah yang diklasifikasikan pada  kelompok ini sangat sedikit jumlahnya. Lain halnya dengan hadis yang diklasifikasikan pada jajaran ahad. Di samping hadis tersebut hanya memberikan bobot akurasi yang  dzanni saifatnya, seringkali ternyata kualitasnya dipertanyakan.  Berbijak pada argumentasi tersebut, titik orientasi kritik sanad hadis yang dikembangkan pada ulama menemukan arti pentingnya bagi upaya membuktikan valid atau tidak valid suatu hadis.


C.    Urgensi Penelitian Sanad Hadis
Tujuan pokok penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun matn, adalah untuk mengetahui kualitas hadis yang diteliti. Kualitas hadis sangat perlu diketahui dalam hubungannya dengan kehujjahan hadis yang bersangkutan. Hadis yang kualitasnya tidak memenuhi syarat tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Pemenuhan syarat itu karena hadis merupakan sumber ajaran Islam. Penggunaan hadis yang tidak memenuhi syarat akan dapat mengakibatkan ajaran Islam tidak sesuai dengan apa yang seharusnya.[14]
Sanad hadis dinyatakan mempunyai kedudukan yang sangat penting, sebab utamanya dapat dilihat dari dua sisi, yakni:
1.   Dilihat dari sisi kedudukan hadis dalam kesumberan ajaran Islam;
2.  Dan dilihat dari sisi sejarah hadis.[15]
Dilihat dari sisi yang disebutkan pertama, sanad hadis sangat penting karena hadis merupakan salah satu sumber ajaran islam. Sedang dilihat dari sisi yang disebutkan kedua, sanad hadis sangat penting karena dalam sejarah:(a) pada zaman Nabi tidak seluruh hadis tertulis; (b) sesudah zaman nabi telah berkembang pemalsuan-pemalsuan hadis; dan (c) penghimpunan (tadwin) hadis secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan-pemalsuan hadis.[16]
Dengan demikian maka dapat dinyatakan, ada empat faktor penting yang mendorong ulama hadis mengadakan penelitian sanad hadis, yaitu:
1.   Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam
2.  Hadis tidak seluruhnya tertulis pada zaman Nabi
3.  Munculnya pemalsuan hadis
4.  Proses penghimpunan (tadwin) hadis. 
Pada uraian latar belakang telah dikemukakan bahwa hadis yang diteliti adalah hadis yang berstatus ahad. Untuk hadis yang berstatus Mutawatir[17][22] ulama menganggap tidak perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut sebab hadis mutawatir telah menimbulkan keyakinan yang pasti bahwa hadis yang bersangkutan berasal dari Nabi.
Pernyataan tersebut tidaklah berarti bahwa terhadap hadis Mutawatir tidak dapat dilakukan penelitian lagi. Hanya saja, yang menjadi tujuan penelitian bukanlah untuk mengetahui bagaimana kualitas sanad dan matn hadis yang bersangkutan, melainkan untuk mengatahui atau untuk membuktikan apakah benar hadis tersebut berstatus mutawatir.[18]
Ulama hadis sesungguhnya telah melakukan penelitian terhadap seluruh hadis yang ada, baik yang termuat dalam berbagai kitab hadis maupun yang termuat dalam berbagai kitab non-hadis. Kalau begitu, apakah penelitian hadis masih diperlukan juga pada saat sekarang ini? Menarik untuk menyimak paparan Dr. M. Syuhudi Ismail[19] sebagai berikut:
1.     Hasil penelitian ulama pada dasarnya tidak terlepas dari hasil ijtihad. Suatu hasil ijtihad tidak terlepas dari dua kemungkinan, yakni benar atau salah. Jadi, hadis tertentu yang dinyatrakan berkualitas sahih oleh seorang ulama hadis masih terbuka kemungkinan diketemukan kesalahannya setelah dilakukan penelitian kembali secara lebih cermat.
2.     Pada kenyataannya, tidak sedikit hadis yang dinilai shahih oleh ulama tertentu, tetapi dinilai tidak sahih oleh ulama tertentu lainnya.
3.     Pengetahuan manusia berkembang dari masa ke masa. Perkembangan pengetahuan itu selayaknya dimanfaatkan untuk melihat kembali hasil-hasil penelitian yang telah lama ada
4.     Ulama hadis adalah manusia biasa, yang tidak lepas dari berbuat salah. Karenanya tidak mustahil bila hasil penelitian yang telah mereka kemukakan masih dapat diketemukan letak kesalahannya setelah diteliti kembali.
5.     Penelitian hadis mencakup penelitian sanad dan matan. Dalam penelitian sanad, pada dasarnya yang diteliti adalah kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para periwayat yang terlibat dalam sanad. Kesulitan menilai pribadi seseorang ialah karena pada diri seseorang terdapat berbagai dimensi yang dapat mempengaruhi pribadinya. Karenanya tidaklah mengherankan bila dalam menilai periwayat hadis, tidak jarang ulama berbeda pendapat.   
Dengan beberapa alasan di atas, maka dapatlah dinyatakan bahwa penelitian terhadap hadis terutama sanad, tetap dinilai memiliki manfaat. Penelitian ulang merupakan salah satu upaya untuk selain mengetahui seberapa jauh tingkat akurasi penelitian ulama terhadap hadis yang mereka teliti, juga untuk menghindarkan diri dari penggunaan dalil hadis yang tidak memenuhi syarat dilihat dari segi kehujjahan.
BAB III
PETUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Metode kritik sanad hadis ialah suatu cara yang sistematis dalam melakukan penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu perawi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran kualitas  hadis.
2.      Sejarah Perkembangan Metode Kritik Sanad terbagi dalam beberapa masa yakni Kritik Sanad Masa Rasulullah, Kritik Sanad Masa Sahabat dan Kritik Sanad Tabi’ Tabi’in.
3.      Urgensi Penelitian Sanad Hadissegi sanad maupun matn, adalah untuk mengetahui kualitas hadis yang diteliti. Kualitas hadis sangat perlu diketahui dalam hubungannya dengan kehujjahan hadis yang bersangkutan. Hadis yang kualitasnya tidak memenuhi syarat tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Pemenuhan syarat itu karena hadis merupakan sumber ajaran Islam. Penggunaan hadis yang tidak memenuhi syarat akan dapat mengakibatkan ajaran Islam tidak sesuai dengan apa yang seharusnya.


B.     Saran
Hadist sebagai produk sejarah, harus ditempatkan sebagai objek keilmuan yang harus diteliti ke shahihannya untuk menambah khasanah keilmuan Islam, termasuk melakukan kritik terhadap orang-orang yang meriwayatkan hadist  dalam Metode Kritik Sanad.


DAFTAR PUSTAKA
Alqur’an dan Terjemahannya

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Cet. V; Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak: Yogyakarta, tth.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-munawwirKamus arab-Indonesia, Cet. XIV; Pustaka Progressif: Surabaya, 1997

Al-Darimy, Abu Muhammad ‘Abdullah ibn Abd Rahman, Sunan al-Darimy (ttp): Dar Ihya’ al-Sunnat al-Nabawiyyah, tth

Abdullatif, Abdul Mawjud Muhammad, Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil, diterjemahkan Nugroho Notosusanto dengan judul Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil: Penilaian Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya, Cet. I; Gema Media Pustakama: Bandung, 1988

Ahmad, Kassim, Hadis ditelanjangi: Sebuah Re-evaluasi Mendasar Atas Hadis, Cet. I; Trotoar: Jakarta., 2006

Bisri, Adib dan Munawwir AF, Al-Bisri Kamus Indonesia Arab, Cet. I; Pustaka Progressif: Surabaya, 1999

Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Cet. I; Bulan Bintang: Jakarta, 1992

_______________, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet.II; Bulan Bintang: Jakarta, 1995


Khaeruman, Badri, Otentisitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, Cet. I; PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2004

M. Isa, Bustamin, dan H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Edisi I, Cet. I; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2004

Rahman, Fathur, Ikhtisar Musthalahul Hadits Cet. IV; Bandung: PT. Al-Maarif, 1985

Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002

Soetari A, Endang., Ilmu Hadist, (Cet. II; Bandung: Amal Bakti Press, 1997

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. IV; Balai Pustaka: Jakarta, 1976
http://harismubarak.blogspot.co.id/2012/07/metode-kritik-sanad-hadis.html



[1] Wikipedia “Pengertian Metode” (https://id.wikipedia.org/wiki/Metode) diakses pada 20 Mei 2017
[2] KH. Adib Bisri dan KH. Munawwir AF, Al-Bisri Kamus Indonesia Arab, (Cet. I; Pustaka Progressif: Surabaya, 1999), h. 162 
[3]W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Cet. IV; Balai Pustaka: Jakarta, 1976), h. 965
[4] Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, op. cit, h. 5
[5]Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Cet. V; Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak: Yogyakarta, tt), h. 1092. lihat juga Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwirKamus arab-Indonesia, (Cet. XIV; Pustaka Progressif: Surabaya, 1997), h. 666   
[6]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002), h. 45-46

[7]Fathur Rahman, op. cit., h. 24-25
[8] Endang Soetari A., Ilmu Hadist, (Cet. II; Bandung: Amal Bakti Press, 1997), h. 2
[9] Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, op. cit, h. 7

[10] Pada masa itu dikalangan umat Islam timbul pertentangan yang bersifat politis diantara para sahabat. Setelah perang Shiffin muncul golongan Khawarij, yakni golongan yang menyalahkan ‘Ali karena menerima Tahkim (Arbitrasi, padahal mereka yang menganjurkan tindakan ini), dan golongan Syi’ah, yaitu golongan yang setia kepada ‘Ali. Munculnya sektarianisme yang bertendensi politik ini mengakibatkan timbulnya perbedaan pendapat dan pertentangan, bukan saja dalam bidang politik, tapi juga dalam ketentuan-ketentuan agama.
Dari suasana itu timbul berbagai pemalsuan hadis, yaitu mengatakan sesuatu dengan memakai Qala Nabi, padahal pernyataan itu bukan berasal dari Nabi. Pemalsuan hadis pada periode ini intensitasnya bertendensi politik, yakni pendukungan terhadap khalifah yang berkuasa (Umawiyyin), atau pembelaan terhadap Ahl al-Bait, dan kaum Khawarij, yang menolak kedua-duanya. Lihat ! Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Cet. I; PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2004), h. 49. bandingkan dengan pendapat Kassim Ahmad yang mengatakan bahwa “Booming” penulisan hadis terjadi setelah konflik politik terbesar dalam sejarah Islam, yang berujung pada pembentukan partai-partai pendukung ‘Ali, Mu’awiyah, dan yang tidak mendukung – bahkan mengkafirkan keduanya -, yaitu khawarij. setelah itu lalu, terutama mulai awal abad kedua hijriyah, banyak hadis palsu atau pseudo-hadis diciptakan untuk mendukung partai-partai politik keagamaan yang bertikai itu.
Situasi carut-marut periwayatan hadis semacam ini mencemaskan ulama-ulama yang concern pada hadis Nabi. Maka muncullah kelompok yang dikenal dengan sebutan Ahl Hadist, sebuah kelompok baru yang terang-terangan membela eksistensi hadis sebagai sumber kedua Islam dan mendapat dukungan penguasa (Umar ibn Abdul Aziz) atas upaya pengumpulan hadis ini. Muncullah kemudian ilmu hadis dan kritik hadis, terutama setelah munculnya Muhammad ibn Sirin (w. 110 H). Kassim Ahmad, Hadis ditelanjangi: Sebuah Re-evaluasi Mendasar Atas Hadis, (Cet. I; Trotoar: Jakarta., 2006), h. 308   

[12] Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, op. cit, h. 7

[13] Badri Khaeruman, op. cit., h. 39

[14] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Cet. I; Bulan Bintang: Jakarta, 1992), h. 28-29
[15] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Cet.II; Bulan Bintang: Jakarta, 1995), h. 85
[16]Ibid., h. 85
[17] Hadis Mutawatir adalah suatu hadis tanggapan dari pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawy, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat berdusta. Lihat ! Fathur-Rahman, op. cit., h. 59.
[18][23] M. Syuhudi Ismail., op. cit., h. 29
[19][24]Ibid., h. 29-30

No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...