BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Al-Quran sebagai sumber hukum Islam pertama dan utama merupakan wahyu Allah
kepada manusia, Allah adalah zat absolute yang tidak terbatas unsur-unsur
material, sedangkan manusia merupakan makhluk yang tidak terlepas dari unsur
material. Karena perbedaan subtansi tersebut manusia dalam berinteraksi langung
dengan Allah sangat terbatas olehnya itu Allah menurunkan kitab sucu al-Quran
sebagai manifestasi dirinya melalui perantara malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad untuk kemudian dijarkan kepada seluruh manusia.
Nabi Muhammad Saw sebagai manusia yang memiliki otoritas menafsirkan
al-Quran telah tiada 14000 tahun lalu, sedangkan kehidupan manusia postmodern
dewasa ini kian kompleks, ajaran Islampun kian meluas ke berbagai wilayah
dengan bahasa dan kebudayaan yang berbeda-beda boleh jadi tidak sesuai lagi
diwaktu dan tempat al-Quran pertama kali diturunkan. Sementara keyakinan umat
islam terhadap al-Quran sebagai sumber hukum adalah mutlak berlaku sepanjang
zaman, kapan dan dimanapun.
Al-Quran sebagai petunjuk harus dapat dpetunjuk, pahami dengan baik oleh
manusia sebagai petuntuk dan sumber hukum dengan melakukan penafsiran,
penakwilan dan menerjemahkan agar al-Quran dapat membumi menjadi semacam
petunjuk jalan bagi manusia
bagi manusia
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang penulisan diatas dapatlah dirumuskan sebagai berikut:
1.
Apakah
yang Dimaksud dengan Metode Kritik Sanad?
2.
Bagaimanakah
Sejarah dan Perkembangan Metode Kritik Sanad?
3.
Bagaimanakah
Urgensi Mempelajari Metode Kritik Sanad?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Metode Kritik Sanad
Metode berasal dari Bahasa
Yunanimethodos yang berarti cara
atau jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka, metode menyangkut
masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.
Fungsi metode berarti sebagai alat untuk mencapai tujuan, atau bagaimana cara
melakukan atau membuat sesuatu.[1]
Kata kritik merupakan alih bahasa dari
kata Naqd[2] yang
berarti berusaha menemukan kebenaran.[3] Namun kritik yang dimaksud
disini adalah upaya mengkaji hadis rasulullah Saw. untuk menentukan hadis yang
benar-benar datang dari Nabi Muhammad Saw.[4]
Kata sanad dalam bahasa arab
sinonim dengan kata da’ama yang mengandung arti menopang atau menyangga,[5]
jamaknya Asnad dan Sanadat Sedangkan menurut istilah hadis,
terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jamaah dan Al-Thiby
mengatakan bahwa sanad adalah:
الإخبار عن طريق المتن“Berita tentang
jalan matan”. Yang lain menyebutkan: سلسلة الجال الموصلة للمتن“ Silsilah
orang-orang (yang meriwayatkan hadis), yang menyampaikannya kepada matan
hadis”. Ada juga yang menyebutkan: سلسلة الرواة الذين نقلوا المتن مصدره
الاول“
silsilah perawi yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama.[6]Sementara
Drs. Fathur Rahman dalam bukunya Ikhtisar Musthalahul Hadis mengatakan bahwa sanad ialah
jalan yang dapat menghubungkan matnu’l-Hadist kepada junjungan kita Nabi
Muhammad s.a.w. misalnya seperti kata Bukhary:
حدثنا محمد بن
المثنى قال: حدثنا عبد الوهاب الثقفى قال: حدثنا أيوب عن أبى قلابة عن أنس عن
النبى صلعم: ثلاث من كن .....(رواه البخارى)
Maka
matnu’l-Hadist “Tsalatsun…” diterima oleh al-Bukhary melalui sanad
pertama Muhammad ibn al-Mutsanna, sanad kedua ‘Abdul-Wahhab-Ats-Tsaqafy,
sanad ketiga Ayyub, sanad keempat Abi Qilab dan seterusnya sampai
sanad terakhir, Anas r.a., seorang shahabat yang langsung menerima
sendiri dari Nabi Muhammad s.a.w.[7]Dengan demikian al-Bukhary itu
menjadi sanad pertama dan rawy terakhir bagi kita.
Sedangkan kata hadist diberi pengertian
yang berbeda-beda oleh para ulama; perbedaan-perbedaan pandangan itu, lebih
disebabkan oleh terbatasnya dan luasnya objek tinjauan masing-masing yang tentu
saja mengandung kecendrungan pada aliran ilmu yang dimiliki oleh ahlinya.
Misalnya ulama hadist mendefinisikan hadist sebagai segala sesuatu yang
diberikan dari Rasulullah Saw. Baik berupa sabda, perbuatan, takrir,
sifat-sifat maupun hal ihwal Rasulullah Saw.[8]
Metode
kritik sanad hadis ialah suatu cara yang sistematis dalam melakukan penelitian,
penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu perawi dan proses
penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan berusaha menemukan
kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran kualitas
hadis.
B. Sejarah Munculnya
Kritik Sanad
Kritik sanad hadis pada masa hidup
rasulullah s.a.w. dan masa khalifah yang empat belum ditemukan. Hal itu dapat
dipahami karena para periwayat hadis pada dua masa tersebut disepakati para Muhaddisin
sebagai masa berkumpulnya periwayat hadis yang adil.[9] Perhatian ulama terhadap
sanad hadis dipicu oleh ditemukannya hadis palsu yang diciptakan oleh
orang-orang zindiq dan orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu.
Pemalsuan hadis pertama kali ditemukan
pada masa Ali ibn Abi Thalib.[10]
Hadis-hadis palsu yang muncul pada masa itu diantaranya didorong karena
faktor-faktor membela kepentingan politik, membela aliran madzhab, membela
madzhab fiqh, dan merusak islam.[11]
Diantara hadis palsu tersebut adalah
hadis yang dibuat oleh orang Syi’ah untuk memuliakan Ali ibn Abi Thalib, dan
hadis palsu yang dibuat oleh orang-orang Mu’awiyah.
Pembukuan hadis secara resmi dan massal
dilakukan pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz (memerintah
99-101 H).[12]
Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab al-Zuhri al-Madani (50-124 H)
adalah orang yang diberikan kepercayaan untuk membukukan hadis, beliau dianggap
telah berjasa menyebarkan hadis kepada masyarakat Islam hingga menembus
berbagai zaman. Hal ini diakui oleh Imam Malik ibn Anas bahwa al-Zuhri adalah
orang yang pertama kali membukukan hadis, bahkan beliau banyak menampung
hadis-hadis yang telah dikumpulkan oleh al-Zuhri.[13]
Kritik sanad hadis sebagai salah satu bagian terpenting
dalam jajaran ilmu hadis muncul dan berkembang seiring dengan perkembangan
hadis itu sendiri, terutama ketika muncul kativitas para ulama dan pengumpulan
hadis dengan memilah-milah serta membuat kategori hadis-hadis tersebut.
Aktivitas ini marak terjadi pada abad ke-3 H. Namun
demikian, bukan berarti bahwa di era sebelumnya sama sekali tidak terjadi
kegiatan yang demikian ini. Jika telah disepakati bahwa kritik dipahami sebagai
sebuah upaya untuk memilah-milih atau membedakan antara yang benar dan yang
salah atau antara yang sahih dan yang tidak, maka dapat dipahami bahwa kegiatan
kritik hadis telah ada sejak zaman Rasulullah, meski disadari bahwa kegiatan
tersebut masih dilakukan dalam bentuk yang sangat sederhana. Kritik hadis di
masa Rasulullah dilakukan dalam bentuk konfirmasi, yakni para sahabat yang
tidak secara langsung mendengar sebuah hadis dari beliau, tetapi dari sahabat
lain yang mendengarkannya, mereka mengkonfirmasikannya kepada Rasulullah.
Fitnah yang menimmpa kaum muslimin tersebut, di samping
berimpliksi negatif dengan terkotak-kotanya pada garis-garis kepentingan
politik yang kemudian masing-masing mencari legitimasi syar’i yang mendukung
kepentingan politiknya itu, ternyata juga memiliki implikasi positif bagi
pengembangan ilmiah kritik sanad hadis. Bahkan momentum tersebut
merupakan tonggak sejarah bagi pengembangan model kritik sanad yang pada tahap
berikutnya mulai diefektifkan penggunaannya. Menanggapi hal ini, Ibn Sarin (33 – 110 H).
berkomentar bahwa pada mulanya kaum muslimin tidak begitu menanyakan sanad,
namun setelah terjadinya fitnah mereka selalu mempertanyakan dari siapa hadis
itu diriwayatkan.
1.
Kritik Sanad di Masa Rasulullah
Pada bahasan sebelumnya telah dikemukakan bahwa kritik hadis
pada masa Rasulullah berlangsung demikian sederhana yakni sebagai langkah
konfirmasi belaka. Perkembangan awal kritik hadis yang demikian ini, agaknya
dimotivasi oleh kondisi yang sangat memungkinkan untuk proses konfirmasi
tersebut. Karena di era ini sumber asli dari seluruh sandaran hadis masih
hidup, yakni Rasulullah sendiri.
2.
Kritik SanadMasa Sahabat
Jika di era Rasulullah kritik hadis mengambil bentuk
konfirmatif, maka para era sahabat, tampilkan kritik hadis lebih bersifat
komparatif. Untuk mendukung tesis tersebut, penulis kemukakan beberapa kasus
yang dapat memperkuatnya; pertama, peristiwa yang terjadi di saat seorang
nenek-nenek datang kepada Abu Bakar untuk mempermasalahkan warisan dari harta
yang ditinggalkan cucunya.
3.
Kritik Sanad Era Tabi’in dan ‘Atba
al-tabi’in hingga Kodifikasi Hadis (Abad II-III H).
Seiring dengan perjalanan sejarah hadis yang semakin
digoyangkan oleh berbagai kasus manipulasi hadis, menuntut para ulama untuk
lebih bersikap ekstra ketat dalam melakukan kritik hadis. Jika pada tahap
sebelumnya upaya kritik tersebut hanya dilakukan oleh para ulama di lingkup
satu daerah saja, maka pada era tersebut perjalanan (rihlah) ilmiah ke berbagai
pelosok daerah semakin intensif dilakukan. Sebagai konsekuensi dari rihlah
yang demikian ini, kemudian bermunculan beberapa kegiatan kritik dengan
tokoh-tokoh kritikus termashur yang memotorinya.
4.
Kaedah Keaslian Sanad Hadis sebagai
Standarisasi Kritik
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian
atau kritik hadis itu berorientasi kepada hadis yang tergolong pada klasifikasi
ahad dan tidak pada yang mutawatir. Orientasi kritik yang
demikian ini lebih dimotivasi oleh karena hadis mutawatir itu telah
memberikan akurasi yang pasti sifatnya (yufid al-qath). Sayangnya hadis-hadis
Rasulullah yang diklasifikasikan pada kelompok ini sangat sedikit
jumlahnya. Lain halnya dengan hadis yang diklasifikasikan pada jajaran ahad. Di
samping hadis tersebut hanya memberikan bobot akurasi yang dzanni
saifatnya, seringkali ternyata kualitasnya dipertanyakan. Berbijak pada
argumentasi tersebut, titik orientasi kritik sanad hadis yang dikembangkan pada
ulama menemukan arti pentingnya bagi upaya membuktikan valid atau tidak valid
suatu hadis.
C. Urgensi
Penelitian Sanad Hadis
Tujuan pokok penelitian hadis, baik
dari segi sanad maupun matn, adalah untuk mengetahui kualitas
hadis yang diteliti. Kualitas hadis sangat perlu diketahui dalam hubungannya
dengan kehujjahan hadis yang bersangkutan. Hadis yang kualitasnya tidak
memenuhi syarat tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Pemenuhan syarat itu
karena hadis merupakan sumber ajaran Islam. Penggunaan hadis yang tidak
memenuhi syarat akan dapat mengakibatkan ajaran Islam tidak sesuai dengan apa
yang seharusnya.[14]
Sanad hadis dinyatakan mempunyai
kedudukan yang sangat penting, sebab utamanya dapat dilihat dari dua sisi,
yakni:
1. Dilihat dari
sisi kedudukan hadis dalam kesumberan ajaran Islam;
2. Dan dilihat
dari sisi sejarah hadis.[15]
Dilihat dari sisi yang disebutkan
pertama, sanad hadis sangat penting karena hadis merupakan salah satu
sumber ajaran islam. Sedang dilihat dari sisi yang disebutkan kedua, sanad
hadis sangat penting karena dalam sejarah:(a) pada zaman Nabi tidak seluruh
hadis tertulis; (b) sesudah zaman nabi telah berkembang pemalsuan-pemalsuan
hadis; dan (c) penghimpunan (tadwin) hadis secara resmi dan massal
terjadi setelah berkembangnya pemalsuan-pemalsuan hadis.[16]
Dengan demikian maka dapat dinyatakan,
ada empat faktor penting yang mendorong ulama hadis mengadakan penelitian sanad
hadis, yaitu:
1. Hadis sebagai
salah satu sumber ajaran Islam
2. Hadis tidak
seluruhnya tertulis pada zaman Nabi
3. Munculnya
pemalsuan hadis
4. Proses
penghimpunan (tadwin) hadis.
Pada uraian latar belakang telah
dikemukakan bahwa hadis yang diteliti adalah hadis yang berstatus ahad.
Untuk hadis yang berstatus Mutawatir[17][22] ulama menganggap tidak perlu
untuk melakukan penelitian lebih lanjut sebab hadis mutawatir telah
menimbulkan keyakinan yang pasti bahwa hadis yang bersangkutan berasal dari
Nabi.
Pernyataan tersebut tidaklah berarti
bahwa terhadap hadis Mutawatir tidak dapat dilakukan penelitian lagi.
Hanya saja, yang menjadi tujuan penelitian bukanlah untuk mengetahui bagaimana
kualitas sanad dan matn hadis yang bersangkutan, melainkan untuk
mengatahui atau untuk membuktikan apakah benar hadis tersebut berstatus mutawatir.[18]
Ulama hadis sesungguhnya telah
melakukan penelitian terhadap seluruh hadis yang ada, baik yang termuat dalam
berbagai kitab hadis maupun yang termuat dalam berbagai kitab non-hadis. Kalau
begitu, apakah penelitian hadis masih diperlukan juga pada saat sekarang ini?
Menarik untuk menyimak paparan Dr. M. Syuhudi Ismail[19] sebagai berikut:
1.
Hasil
penelitian ulama pada dasarnya tidak terlepas dari hasil ijtihad. Suatu hasil
ijtihad tidak terlepas dari dua kemungkinan, yakni benar atau salah. Jadi,
hadis tertentu yang dinyatrakan berkualitas sahih oleh seorang ulama hadis
masih terbuka kemungkinan diketemukan kesalahannya setelah dilakukan penelitian
kembali secara lebih cermat.
2.
Pada
kenyataannya, tidak sedikit hadis yang dinilai shahih oleh ulama tertentu,
tetapi dinilai tidak sahih oleh ulama tertentu lainnya.
3.
Pengetahuan
manusia berkembang dari masa ke masa. Perkembangan pengetahuan itu selayaknya
dimanfaatkan untuk melihat kembali hasil-hasil penelitian yang telah lama ada
4.
Ulama hadis
adalah manusia biasa, yang tidak lepas dari berbuat salah. Karenanya tidak
mustahil bila hasil penelitian yang telah mereka kemukakan masih dapat
diketemukan letak kesalahannya setelah diteliti kembali.
5.
Penelitian
hadis mencakup penelitian sanad dan matan. Dalam
penelitian sanad, pada dasarnya yang diteliti adalah kualitas pribadi
dan kapasitas intelektual para periwayat yang terlibat dalam sanad.
Kesulitan menilai pribadi seseorang ialah karena pada diri seseorang terdapat
berbagai dimensi yang dapat mempengaruhi pribadinya. Karenanya tidaklah
mengherankan bila dalam menilai periwayat hadis, tidak jarang ulama berbeda
pendapat.
Dengan beberapa alasan di atas, maka
dapatlah dinyatakan bahwa penelitian terhadap hadis terutama sanad,
tetap dinilai memiliki manfaat. Penelitian ulang merupakan salah satu upaya
untuk selain mengetahui seberapa jauh tingkat akurasi penelitian ulama terhadap
hadis yang mereka teliti, juga untuk menghindarkan diri dari penggunaan dalil
hadis yang tidak memenuhi syarat dilihat dari segi kehujjahan.
BAB III
PETUTUP
A. Kesimpulan
1.
Metode
kritik sanad hadis ialah suatu cara yang sistematis dalam melakukan penelitian,
penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu perawi dan proses
penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan berusaha menemukan
kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran
kualitas hadis.
2.
Sejarah
Perkembangan Metode Kritik Sanad terbagi dalam beberapa masa yakni Kritik Sanad
Masa Rasulullah, Kritik Sanad Masa Sahabat dan Kritik Sanad Tabi’ Tabi’in.
3.
Urgensi
Penelitian Sanad Hadissegi sanad maupun matn, adalah untuk mengetahui kualitas
hadis yang diteliti. Kualitas hadis sangat perlu diketahui dalam hubungannya
dengan kehujjahan hadis yang bersangkutan. Hadis yang kualitasnya tidak
memenuhi syarat tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Pemenuhan syarat itu
karena hadis merupakan sumber ajaran Islam. Penggunaan hadis yang tidak
memenuhi syarat akan dapat mengakibatkan ajaran Islam tidak sesuai dengan apa
yang seharusnya.
B. Saran
Hadist sebagai
produk sejarah, harus ditempatkan sebagai objek keilmuan yang harus diteliti ke
shahihannya untuk menambah khasanah keilmuan Islam, termasuk melakukan kritik
terhadap orang-orang yang meriwayatkan hadist
dalam Metode Kritik Sanad.
DAFTAR PUSTAKA
Alqur’an dan Terjemahannya
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor,
Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Cet. V; Multi Karya Grafika Pondok
Pesantren Krapyak: Yogyakarta, tth.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-munawwirKamus
arab-Indonesia, Cet. XIV; Pustaka Progressif: Surabaya, 1997
Al-Darimy, Abu Muhammad ‘Abdullah
ibn Abd Rahman, Sunan al-Darimy (ttp): Dar Ihya’ al-Sunnat
al-Nabawiyyah, tth
Abdullatif, Abdul Mawjud Muhammad, Ilmu
Al-Jarh wa Al-Ta’dil, diterjemahkan Nugroho Notosusanto dengan judul Ilmu
Al-Jarh wa Al-Ta’dil: Penilaian Kredibilitas Para Perawi dan
Pengimplementasiannya, Cet. I; Gema Media Pustakama: Bandung, 1988
Ahmad, Kassim, Hadis
ditelanjangi: Sebuah Re-evaluasi Mendasar Atas Hadis, Cet. I; Trotoar:
Jakarta., 2006
Bisri, Adib dan Munawwir AF, Al-Bisri
Kamus Indonesia Arab, Cet. I; Pustaka Progressif: Surabaya, 1999
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, Cet. I; Bulan Bintang: Jakarta, 1992
_______________, Kaedah Kesahihan
Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah,
Cet.II; Bulan Bintang: Jakarta, 1995
Khaeruman, Badri, Otentisitas
Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, Cet. I; PT. Remaja
Rosdakarya: Bandung, 2004
M. Isa, Bustamin, dan H. A. Salam, Metodologi
Kritik Hadis, Edisi I, Cet. I; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2004
Rahman, Fathur, Ikhtisar
Musthalahul Hadits Cet. IV; Bandung: PT. Al-Maarif, 1985
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis,
Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002
Soetari A, Endang., Ilmu Hadist,
(Cet. II; Bandung: Amal Bakti Press, 1997
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Cet. IV; Balai Pustaka: Jakarta, 1976
http://harismubarak.blogspot.co.id/2012/07/metode-kritik-sanad-hadis.html
[1] Wikipedia “Pengertian
Metode” (https://id.wikipedia.org/wiki/Metode) diakses pada 20 Mei 2017
[2]
KH. Adib Bisri dan KH. Munawwir AF, Al-Bisri Kamus Indonesia Arab, (Cet.
I; Pustaka Progressif: Surabaya, 1999), h. 162
[3]W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Cet. IV; Balai Pustaka:
Jakarta, 1976), h. 965
[4]
Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, op. cit, h. 5
[5]Atabik
Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Cet. V;
Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak: Yogyakarta, tt), h. 1092. lihat
juga Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwirKamus arab-Indonesia, (Cet. XIV;
Pustaka Progressif: Surabaya, 1997), h. 666
[6]Munzier
Suparta, Ilmu Hadis, (Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta,
2002), h. 45-46
[7]Fathur
Rahman, op. cit., h. 24-25
[8]
Endang Soetari A., Ilmu Hadist, (Cet. II; Bandung: Amal Bakti Press,
1997), h. 2
[9]
Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, op. cit, h. 7
[10]
Pada masa itu dikalangan umat Islam timbul pertentangan yang bersifat politis
diantara para sahabat. Setelah perang Shiffin muncul golongan Khawarij,
yakni golongan yang menyalahkan ‘Ali karena menerima Tahkim (Arbitrasi,
padahal mereka yang menganjurkan tindakan ini), dan golongan Syi’ah,
yaitu golongan yang setia kepada ‘Ali. Munculnya sektarianisme yang bertendensi
politik ini mengakibatkan timbulnya perbedaan pendapat dan pertentangan, bukan
saja dalam bidang politik, tapi juga dalam ketentuan-ketentuan agama.
Dari
suasana itu timbul berbagai pemalsuan hadis, yaitu mengatakan sesuatu dengan
memakai Qala Nabi, padahal pernyataan itu bukan berasal dari Nabi.
Pemalsuan hadis pada periode ini intensitasnya bertendensi politik, yakni
pendukungan terhadap khalifah yang berkuasa (Umawiyyin), atau pembelaan
terhadap Ahl al-Bait, dan kaum Khawarij, yang menolak kedua-duanya.
Lihat ! Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis
Kontemporer, (Cet. I; PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2004), h. 49.
bandingkan dengan pendapat Kassim Ahmad yang mengatakan bahwa “Booming”
penulisan hadis terjadi setelah konflik politik terbesar dalam sejarah Islam,
yang berujung pada pembentukan partai-partai pendukung ‘Ali, Mu’awiyah, dan
yang tidak mendukung – bahkan mengkafirkan keduanya -, yaitu khawarij. setelah
itu lalu, terutama mulai awal abad kedua hijriyah, banyak hadis palsu atau
pseudo-hadis diciptakan untuk mendukung partai-partai politik keagamaan yang
bertikai itu.
Situasi
carut-marut periwayatan hadis semacam ini mencemaskan ulama-ulama yang concern
pada hadis Nabi. Maka muncullah kelompok yang dikenal dengan sebutan Ahl
Hadist, sebuah kelompok baru yang terang-terangan membela eksistensi hadis
sebagai sumber kedua Islam dan mendapat dukungan penguasa (Umar ibn Abdul Aziz)
atas upaya pengumpulan hadis ini. Muncullah kemudian ilmu hadis dan kritik
hadis, terutama setelah munculnya Muhammad ibn Sirin (w. 110 H). Kassim Ahmad, Hadis
ditelanjangi: Sebuah Re-evaluasi Mendasar Atas Hadis, (Cet. I; Trotoar:
Jakarta., 2006), h. 308
[12]
Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, op. cit, h. 7
[13]
Badri Khaeruman, op. cit., h. 39
[14]
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Cet. I; Bulan
Bintang: Jakarta, 1992), h. 28-29
[15]
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Cet.II; Bulan Bintang: Jakarta, 1995), h.
85
[17]
Hadis Mutawatir adalah suatu hadis tanggapan dari pancaindera, yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rawy, yang menurut adat kebiasaan mustahil
mereka berkumpul dan bersepakat berdusta. Lihat ! Fathur-Rahman, op. cit.,
h. 59.
No comments:
Post a Comment