JAM'IYYAH NAHDLATUL
ULAMA' LAHIR
Setelah kaum Wahabi melalui pemberontakan yang mereka lakukan
pada tahun 1925 berhasil menguasai seluruh daerah Hejaz, maka mereka mengubah
nama negeri Hejaz dengan nama Saudi Arabia. Dengan dukungan sepenuhnya dari
raja mereka yang pertama, Ibnu Sa'ud, mereka mengadakan perombakan-perombakan
secara radikal terhadap tata cara kehidupan masyarakat. Tata kehidupan
keagamaan, mereka sesuaikan dengan tata cara yang dianut oleh golongan Wahabi,
yang antara lain adalah ingin melenyapkan semua batu nisan kuburan dan
meratakannya dengan tanah.
Keadaan tersebut sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang
banyak bermukim di negeri Hejaz, yang menganut paham Ahlus Sunnah Wal
Jama'ah,dengan memilih salah satu dari empat madzhab. Mereka sangat terkekang
dan tidak mempunyai kebebasan lagi dalam menjalankan ibadah sesuai dengan paham
yang mereka anut. Hal ini dianggap oleh bangsa Indonesia sebagai suatu
persoalan yang besar.
Persoalan tersebut oleh bangsa Indonesia tidak dianggap sebagai
persoalan nasional bangsa Arab saja, melainkan dianggap sebagai persoalan
internasional, karena menyangkut kepentingan ummat Islam di seluruh dunia. Oleh
karena itu, para tokoh ulama di Jawa Timur menganggap penting untuk membahas
persoalan tersebut. Dipelopori oleh alm. KH. Abdul Wahab Hasbullah
dan almarhum hadlratus syaikh KH. Hasyim Asy'ari, diadakanlah
pertemuan di langgar H. Musa Kertopaten Surabaya. Pada pertemuan tersebut
dilahirkan satu organisasi yang diberi nama Comite Hejaz, yang
anggotanya terdiri dari para tokoh tua dan para tokoh muda.
Semula Comite Hejaz bermaksud akan mengirimkan
utusan ke tanah Hejaz untuk menghadap raja Ibnu Sa'ud. Akan tetapi oleh karena
satu dan lain hal pengiriman utusan ditangguhkan, dan sebagai gantinya hanya
mengirimkan telegram kepada raja Ibnu Sa'ud.
Pada tanggal 31 Januari 1926 M. atau 16 Rajab 1345 H, hari
Kamis, di lawang Agung Ampel Surabaya, diadakan pertemuan yang disponsori oleh
Comite Hejaz sebagai realisasi dari gagasan yang timbul pada pertemuan
sebelumnya. Pada pertemuan ini, lahirlah organisasi baru yang diberi nama
"JAM'IYYAH NAHDLATUL ULAMA" dengan susunan pengurus HB (Hoof
Bestuur)sebagai berikut:
Ra'is Akbar
|
:
|
Hadlratus Syaikh KH. Hasyim
Asy'ari
|
Wakil Ra'is
|
:
|
KH. Said bin Shalih
|
Katib Awwal
|
:
|
KH. Abdul Wahab Hasbullah
|
Katib Tsani
|
:
|
Mas H. Alwi Abdul Aziz
|
A'wan
|
:
|
1. KH. Abdul
Halim (Leuwimunding)
2. KH. Ridlwan Surabaya (pencipta lambang NU) 3. KH. Bisri Sansuri, Denanyar, Jombang. 4. KH. Said. 5. KH. Abdullah Ubaid, Surabaya. 6. KH. Nahrawi Thahir, Malang. 7. KH. Amin, Surabaya. 8. KH. Kholil Masyhuri, Soditan, Lasem, Jateng |
Musytasyar
|
:
|
1. KH. Asnawi, Kudus
2. KH. Ridlwan, Semarang. 3. KH. Nawawi, Sidogiri, Pasuruan. 4. KH. Doro Muntoho, Bangkalan. 5. KH. Ahmad Ghonaim Al Misri. 6. KH. Hambali, Kudus. |
|
||
Presiden
|
:
|
H. Hasan Gipo
|
Penulis
|
:
|
H. Sadik alias Sugeng Yudodiwiryo
|
Bendahara
|
:
|
H. Burhan
|
Komisaris
|
:
|
H. Saleh Syamil
H. Ihsan H. Nawawi H. Dahlan Abd. Qohar Mas Mangun |
Kehadiran Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' dimaksudkan sebagai suatu
organisasi yang dapat mempertahankan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dari
segala macam intervensi (serangan) golongan-golongan Islam di luar Ahlus Sunnah
Wal Jama'ah di Indonesia pada khususnya dan di seluruh dunia pada umumnya; dan
bukan hanya sekedar untuk menghadapi golongan Wahabi saja sebagaimana Comite
Hejaz. Disamping itu juga dimaksudkan sebaga organisasi yang mampu
memberikan reaksi terhadap tekanan-tekanan yang diberikan oleh Pemerintah
Penjajah Belanda kepada ummat Islam di Indonesia.
Tahun 1926-1929
Setelah Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' lahir pada
tanggal 31 Januari 1926 M, maka Comite Hejaz dibubarkan. Sedangkan semua tugas
Comite Hejaz yang belum dilaksanakan, dilimpahkan seluruhnya kepada Jam'iyyah NU. Alhamdulillah, meskipun Jam'iyyah NU
baru saja lahir, ternyata telah mampu melaksanakan tugas-tugas yang berat; baik
tugas yang dilimpahkan oleh Comite Hejaz, maupun tugas yang diharapkan oleh
ummat Islam kepadanya. Tugas-tugas tersebut antara lain:
1.
Pada bulan Februari 1926 M.
setelah berhasil menyelenggarakan kongres Al Islam di Bandung yang dihadiri
oleh tokoh-tokoh organisasi Islam selain NU, seperti: PSII, Muhammadiyah dan lain-lainnya.
Diantara keputusan kongres tersebut adalah mengirimkan dua orang utusan, yaitu:H.Umar Said Tjokroaminoto dari PSII dan KH. Mas Mansur
dari Muhammadiyah, ke Muktamar Alam Islam yang diselenggarakan oleh raja Ibnu
Saud (raja Saudi Arabia) di Makkah. Disamping itu, Jam'iyyah NU juga
mengirimkan utusan yang khusus membawa amanat NU, yaitu: KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Ahmad Ghonaim Al Misri. Alhamdulillah
kedua utusan ini berhasil dengan baik.
Kedua beliau ini pulang dengan membawa surat dari
raja Sa'ud ke Indonesia tertanggal 28 Dzul Hijjah 1347 H./ 13 Juni 1928 M., nomor: 2082, yang isinya antara lain
menyatakan bahwa raja Ibnu Sa'ud menjanjikan akan membuat satu ketetapan yang
menjamin setiap ummat Islam untuk menjalankan Agama Islam menurut paham yang
dianutnya.
2.
Sesuai dengan yang diharapkan
oleh bangsa Indonesia, maka sejak lahir, Jam'iyyah NU telah berani memberikan
reaksi secara aktif terhadap rencana pemerintah Penjajah Belanda mengenai:
a.
Ordonansi Perkawinan atau
Undang-Undang Perkawinan, yang isinya mengkombinasikan hukum-hukum Islam dengan
hukum-hukum yang dibawa Belanda dari Eropa.
b.
Pelimpahan pembagian waris ke
Pengadilan Negeri (Nationale Raad) dengan menggunakan ketentuan hukum di luar
Islam.
c.
Persoalan pajak rodi, yaitu
pajak yang dikenakan kepada warga negara Indonesia yang bermukim di luar
negeri.
d.
Dan lain-lainnya.
Walhasil, meskipun NU tidak pernah menyatakan
sebagai Partai Politik, namun yang ditangani adalah soal-soal politik.
Tahun 1929-1942
Pada tanggal 5 September 1929
Jam'iyyah NU mengajukan Anggaran Dasar (Statuten) dan Anggaran Rumah Tangga
(Huishoudelijk Reglemen) yang telah disusun kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Dan pada tanggal 6 Februari 1930 mendapat pengesahan dari Pemerintah Hindia
Belanda sebagai organisasi resmi dengan nama: "PERKUMPULAN NAHDLATUL ULAMA"
untuk jangka waktu 29 tahun terhitung sejak berdiri, yaitu: 31 Januari 1926.
Hoofbestuur (Pengurus Besar)
Nahdlatul Ulama' juga berusaha membuat lambang NU dengan jalan meminta kepada
para Kyai untuk melakukan istikharah. Dan ternyata Almarhum KH. Ridlwan Abdullah, Bubutan Surabaya
berhasil. Dalam mimpi, beliau melihat gambar lambang itu secara lengkap seperti
lambang yang sekarang; tanpa mengetahui makna simbol-simbol yang terdapat dalam
lambang tersebut satu-persatu.
Setelah berdiri secara resmi,
Nahdlatul Ulama' mendapat sambutan dari seluruh masyarakat Indonesia yang
sebagian besar berhaluan salah satu dari madzhab empat. Sehingga dalam waktu
yang relatif singkat, 4 sampai 5 bulan, sudah terbentuk 35 cabang. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, yang antara lain:
1.
Jam'iyyah
Nahdlatul Ulama' dipimpin oleh para ulama' yang menjadi guru dari para kyai yang
tersebar di seluruh Nusantara, khususnya Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari.
2.
Kesadaran ummat
Islam Indonesia akan keperluan organisasi Islam sebagai tempat menyalurkan
aspirasi dan sebagai kekuatan sosial yang tangguh dalam menghadapi tantangan
dari luar.
Sebagai organisasi sosial yang harus
menangani semua kepentingan masyarakat, Nahdlatul Ulama' memandang sangat perlu
untuk membentuk kader-kader yang terdiri dari generasi muda yang sanggup
melaksanakan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh NU. Untuk itu, pada tanggal 12 Februari
1938, atas prakarsa KH.Abdul Wahid Hasyim selaku konsul Jawa Timur,
diselenggarakan konferensi Daerah Jawa Timur yang menelorkan keputusan untuk
menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu mendirikan madrasah-madrasah, disamping
sistem pendidikan pondok pesantren. Madrasah-madrasah yang didirikan itu
terdiri dari dua macam, yaitu:
Madrasah Umum,
yang terdiri dari:
·
Madrasah
Awwaliyah, dengan masa belajar 2 tahun.
·
Madrasah
Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
·
Madrasah
Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
·
Madrasah
Mu'allimin Wustha, dengan masa belajar 2 tahun.
·
Madrasah
Mu'allimin 'Ulya, dengan masa belajar 3 tahun.
Madrasah Kejuruan
(Ikhtishashiyyah), yang terdiri dari:
·
Madrasah Qudlat
(Hukum).
·
Madrasah Tijarah
(Dagang).
·
Madrasah Nijarah
(Pertukangan).
·
Madrasah Zira'ah
(Pertanian).
·
Madrasah Fuqara'
(untuk orang-orang fakir).
·
Madrasah Khusus.
Kelahiran Al Majlis
Al Islamiy Al A'la (MIAI)
Pada masa penjajahan
Belanda, ummat Islam Indonesia selalu mendapat tekanan-tekanan dari pemerintah
penjajah Belanda, disamping penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh golongan
di luar Islam kepada agama Islam, Al Qur'an dan Nabi Besar Muhammad saw.. Untuk
menghadapi hal tersebut, maka Nahdlatul Ulama' memandang perlu untuk
mempersatukan seluruh potensi ummat Islam di Indonesia.
Pada tahun 1937
Nahdlatul Ulama' telah memelopori persatuan ummat Islam di seluruh Indonesia
dengan membidani kelahiran dari Al Majlis al Islamiy al A'la Indonesia (MIAI),
dengan susunan dewan sebagai berikut:
Ketua Dewan
|
:
|
KH. Abdul Wahid Hasyim, dari NU
|
Wakil Ketua Dewan
|
:
|
W. Wondoamiseno, dari PSII
|
Sekretaris (ketua)
|
:
|
H. Fakih Usman, dari Muhammadiyah
|
Penulis
|
:
|
S.A. Bahresy, dari PAI
|
Bendahara
|
:
|
1. S. Umar Hubeis, dari Al Irsyad
2. K.H. Mas Mansur, dari Muhammadiyah 3. Dr. Sukiman, dari PII |
Adapun tujuan
perjuangan yang akan dicapai oleh MIAIantara lain sebagai berikut:
- Menggabungkan segala perhimpunan ummat Islam Indonesia untuk bekerja bersama-sama.
- Berusaha mengadakan perdamaian apabila timbul pertikaian di antara golongan ummat Islam Indonesia, baik yang telah tergabung dalam MIAImaupun belum.
- Merapatkan hubungan antara ummat Islam Indonesia dengan ummat Islam di luar negeri.
- Berdaya upaya untuk keselamatan agama Islam dan ummatnya.
- Membangun Konggres Muslimin Indonesia (KMI) sesuai dengan pasal 1 Anggaran Dasar MIAI.
No comments:
Post a Comment