UNIVERSALISME ISLAM DAN KOSMOPOLITANISME
PERADABAN ISLAM
Oleh Abdurrahman Wahid
Universalisme Islam
menampakkan diri dalam
berbagai manifestasi
penting dan yang
terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian
ajaran yang meliputi
berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tawhid), etika
(akhlaq, seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan
belaka) dan sikap
hidup, menampilkan kepedulian
yang sangat besar kepada unsur-unsur
utama dari kemanusiaan
(al-insaniyyah). Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat dimuka
hukum, perlindungan warga
masyarakat dari kedlaliman dan
kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah
dan menderita kekurangan
dan pembatasan atas wewenang
para pemegang kekuasaan, semuanya
jelas menunjukkan kepedulian di atas.
Sementara itu, universalisme yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian
kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh kearifan yang muncul
dari keterbukaan peradaban
Islam sendiri. Keterbukaan yang
membuat kaum Muslim
selama sekian abad menyerap segala
macam menifestasi kultural
dan wawasan keilmuan yang datang
dari pihak peradaban-peradaban lain, baik yang
yang masih ada
waktu itu maupun yang sudah
mengalami penyusutan luar biasa
(seperti peradaban Persia).
Kearifan yang muncul dari
proses saling pengaruh-mempengaruhi antara peradaban-peradaban yang
dikenal itu, waktu itu
di kawasan "Dunia Islam"
waktu itu, yang kemudian
mengangkat peradaban Islam ke
tingkat sangat tinggi,
hingga menjadi apa
yang disebutkan sejarawan agung Arnold J. Toynbee sebagai
oikumene (peradilan dunia) Islam. Oikumene Islam ini, menurut Toynbee, adalah salah satu di antara enam
belas oikumene yang menguasai dunia. Kearifan dari oikumene Islam itulah
yang paling tepat untuk
disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban Islam. Kisah kedua wajah
Islam itu, universalisme ajaran
dan kosmopolitanisme peradaban akan disajikan pada kesempatan ini.
Salah satu
ajaran yang dengan
sempurna menampilkan
universalisme Islam adalah
lima buah jaminan
dasar yang diberikan agama
samawi terakhir ini kepada warga
masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu
tersebar dalam literatur
hukum agama (al-kutub
al-fiqhiyyah) lama, yaitu jaminan dasar akan
(1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar
ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan
agama masing-masing, tanpa ada
paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan
keturunan, (4) keselamatan harta benda dan
milik pribadi di luar
prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Jaminan akan keselamatan
fisik warga masyarakat mengharuskan
adanya pemerintahan
berdasarkan hukum, dengan
perlakuan adil kepada semua warga masyarakat
tanpa kecuali, sesuai
dengan hak masing-masing. Hanya
dengan kepastian hukumlah
sebuah masyarakat mampu mengembangkan
wawasan persamaan hak
dan derajat antara sesama
warganya, sedangkan kedua
jenis persamaan itulah yang
menjamin terwujudnya keadilan
sosial dalam arti sebenar-benarnya. Sedangkan kita ini mengetahui, bahwa pandangan
hidup (Worldview, Weltanschauung) paling jelas universalitasnya adalah
pandangan keadilan sosial.
Demikian
juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi
para warga masyarakat melandasi
hubungan antar-warga
masyarakat atas dasar
sikap saling hormat
menghormati, yang akan mendorong
tumbuhnya kerangka sikap tenggang
rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya
perjalanan sejarah dengan penindasan,
kesempitan pandangan dan
kedhaliman terhadap kelompok minoritas yang
berbeda keyakinan agamanya
dari keyakinan mayoritas, sejarah ummat manusia membuktikan bahwa
sebenarnya toleransi adalah bagian
inherent dari kehidupan
manusia. Sejarah persekusi dan
represi adalah sejarah "orang besar", walaupun sasarannya
selalu "orang kecil".
Dalam menerima persekusi dan
represi tanpa keputusan wong cilik membuktikan kekuatan toleransi dan
sikap tenggang rasa
dalam membangun masyarakat. Justru
toleransilah yang melakukan
transformasi sosial dalam skala massif
sepanjang sejarah Bahkan
sejarah agama membuktikan
munculnya agama sebagal dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan
yang dominan, yang
berwatak menindas, seperti dibuktikan
oleh Islam dengan dobrakannya
atas ketidakadilan wawasan
hidup jahiliyyah yang
dianut mayoritas orang Arab
waktu itu. Dengan
tauhid, Islam menegakkan penghargaan
kepada perbedaan pendapat
dan perbenturan keyakinan. Jika
perbedaan pandangan dapat ditolerir dalam hal paling mendasar
seperti keamanan, tentunya sikap
tenggang rasa lebih lagi
diperkenankan dalam mengelola perbedaan pandangan politik dan ideologi. Tampak
nyata dari tilikan aspek
ini, bahwa Islam
melalui ajarannya memiliki pandangan universal, yang berlaku untuk umat
manusia secara keseluruhan.
Jaminan dasar
akan keselamatan keluarga
menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik moral dalam arti
kerangka etis yang utuh
maupun dalam arti
kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat mungkin, karena keluarga
merupakan ikatan sosial paling
dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam
bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada. Kesucian keluarga
inilah yang melandasi
keimanan yang memancarkan toleransi
dalam derajat sangat
tinggi. Dalam kelompok masyarakat
lebih besar, selalu terdapat kecenderungan untuk melakukan formalisasi ajaran
secara berlebihan, sehingga menindas kebebasan individu untuk menganut
kebenaran, kelompok supra-keluarga
senantiasa mencoba menghilangkan, atau setidak-tidaknya mempersempit,
ruang gerak individu
warga masyarakat untuk melakukan eksperimentasi dengan
pandangan hidupnya sendiri, dan
untuk menguji garis batas kebenaran keyakinan. Padahal
upaya melakukan uji coba
seperti itulah yang akan
menajamkan kebenaran
masing-masing keyakinan pandangan
maupun pemahaman. Islam memberikan
kebebasan untuk
melakukan upaya perbandingan
antara berbagai keyakinan,
termasuk keimanan kita, dan
dalam proses itu
membuktikan keampuhan konsep keimanan
sendiri. Disamping kebenaran yang dapat
diraih melalui pengalaman
esoteris, Islam juga memberikan peluang
bagi pencapaian kebenaran melalu proses dialektis.
Justru proses dialektis
inilah yang memerlukan derajat toleransi sangat tinggi dari pemeluk suatu
keyakinan, dan Islam memberikan
wadah untuk itu,
yaitu lingkungan
kemasyrakatan terkecil yang bernama
keluarga. Di lingkungan sangat
kecil itulah individu
dapat mengembangkan
pilihan-pilihannya tanpa gangguan,
sementara kohesi sosial
masih terjaga karena
keluarga berfungsi mengintegrasikan warganya secara
umum ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih besar.
Jaminan dasar akan keselamatan harta-benda (al-milk, property)
merupakan sarana bagi
berkembanguya hak-hak individu secara wajar dan
proporsional, dalam kaitannya
dengan hak-hak masyarakat atas
individu. Masyarakat dapat
menentukan kewajiban-kewajibannya yang diinginkan secara
kolektif atas masing-masing individu
warga masyarakat. Tetapi
penetapan kewajiban itu ada batas
terjauhnya, dan warga
masyarakat secara
perorangan tidak dapat
dikenakan kewajiban untuk masyarakat lebih
dari batas-batas tersebut.
Batas paling praktis, dan
paling nyata jika
dilihat dari perkembangan
Sosialisme dan terutama Marxisme-Leninisme
saat ini, adalah pemilikan harta-benda
oleh individu. Dengan hak itulah warga masyarakat secara perorangan
memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan
diri melalui pola
atau cara yang dipilihnya
sendiri, namun tetap dalam
alur umum kehidupan
masyarakat. Sejarah ummat manusia
menunjukkan bahwa hak
dasar akan pemilikan harta-benda
inilah yang menjadi penentu kreativitas
warga masyarakat, berarti
kesediaan melakukan transformasi
itulah warga masyarakat
memperlihatkan wajah universal kehidupannya?
Jaminan dasar akan keselamatan profesi menampilkan
sosok lain lagi dari universalitas
ajaran Islam. Penghargaan
kepada kebebasan penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan
pilihan-pilihan atas resiko sendiri,
mengenai keberhasilan yang ingin
diraih dan kegagalan yang membayanginya. Dengan ungkapan
lain, kebebasan menganut profesi yang dipilih berarti peluang menentukan arah
hidup lengkap dengan tanggung jawabnya sendiri. Namun pilihan itu tetap
dalam kerangka alur
umum kehidupan masyarakat, karena
pilihan profesi berarti meletakkan diri dalam alur
umum kegiatan masyarakat,
yang penuh dengan ukuran-ukurannya sendiri.
Ini berarti keseimbangan cair
yang harus terus-menerus
dicari antara hak-hak individu
dan kebutuhan masyarakat,
sebuah kondisi situasional
yang serba eksistensial
sebagai wadah untuk menguji kebenaran
keyakinan dalam rangkaian kejadian yang tidak terputus-putus: bolehkah
saya lakukan hal ini dari sudut pandangan keimanan saya, padahal diharuskan
oleh profesi saya? Rasanya tidak ada yang lebih universal dari pencarian jawaban akan
wujud kebenaran dalam
rangkaian kejadian seperti disajikan oleh tantangan dari dunia
profesi itu.
Secara
keseluruhan, kelima jaminan dasar di
atas menampilkan
universalitas pandangan hidup
yang utuh dan
bulat. Pemerintahan berdasarkan hukum, persamaan derajat
dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan adalah
unsur-unsur utama kemanusiaan, dan
dengan demikian menampilkan universalitas ajaran
Islam. Namun, kesemua jaminan dasar itu hanya menyajikan kerangka
teoritik (atau mungkin bahkan hanya moralistik
belaka) yang tidak berfungsi,
juga tidak didukung oleh kosmopolititanisme peradaban Islam.
Watak kosmopolitan dari peradaban
Islam itu telah
tampak sejak awal pemunculannya. Peradaban itu, yang dimulai
dengan cara-cara Nabi Muhammad
s.a.w mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah hingga
munculnya para ensiklopedis
Muslim awal (seperti al-Jahiz) pada abad ketiga Hijri, memantulkan
proses saling menyerap dengan
peradaban-peradaban lain di
sekitar Dunia Islam waktu
itu, dari sisa-sisa peradaban Yunani kuno yang berupa Hellenisme hingga
peradaban anak benua India.
Kosmopolitanisme
peradaban Islam itu muncul
dalam sejumlah unsur dominan,
seperti hilangnya batasan
etnis, kuatnya pluralitas budaya
dan heterogenitas politik.
Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan
diri dalam unsur
dominan yang menakjubkan, yaitu
kehidupan beragama yang
eklektik selama berabad-abad.
Kalau ditelusuri dengan cermat perdebatan sengit di bidang teologi dan hukum
agama selama empat abad
pertama sejarah Islam, akan
tampak secara jelas betapa beragamnya pandangan yang dianut
oleh kaum Muslim waktu itu. Kalaupun hal itu
dianggap sebagai kemelut
kehidupan beragama kaum Muslim, karena tidak adanya konsensus atas hal-hal
dasar, maka harus juga
dibaca dengan cara
lain bahwa pemikir
Muslim telah berhasil
mengembangkan watak kosmopolitan
dalam pandangan budaya dan
keilmuan mereka, karena
mampu saling berdialog secara
demikian bebas. Kebebasan
kaum Mu'tazilah untuk mempertanyakan kebenaran ajaran sentral bahwa al-Qur'an
turun dalam bentuk huruf dan bahasa yang
sekarang dikenal (bahasa Arab,
huruf Hija'iyyah) dan menganggap Kitab Suci kaum Muslim tersebut
diturunkan hanya secara maknawi belaka, sesuatu
yang sekarang tentunya dianggap
sikap seorang murtad dari agama
Islam, adalah dari pertanda kuatnya
watak kosmopolitan dari peradaban Islam
waktu itu. Pertanyaan bagaimanapun gilanya
mendapatkan peluang untuk
diutarakan dengan bebas.
Dalam situasi seperti itu tokh tidak ada bahaya apapun bagi Islam,
karena proses dialog serba dialektik akan memunculkan koreksi budayanya sendiri,
yang dalam kasus
Mu'tazilah mengambil bentuk
koreksi al-Asy'ari, al-Maturidi dan
al-Baqillani yang berujung pada
ilmu kalam skolastik dari kaum
Sunni. Koreksi itupun memperlihatkan
watak kosmopolitan, karena
ia tidak muncul sebagai
hardikan atau tuntutan
ilegal-yuridis, melainkan sebagai perdebatan ilmiah yang tidak mengambil
sikap mengadili atau menghakimi.
Baru ketika kemapanan masyarakat Islam mengambil tindakan melarang
perdebatan ilmiah sajalah, sambil memproklamasikan ajaran-ajaran al-Asy'ari
dan kawan-kawan sebagai kebenaran ajaran Islam, watak kosmopolitan dari
peradaban Islam mulai terputus dengan sendirinya.
Dengan
demikian dapat disimpulkan,
bahwa kosmopolitanisme peradaban
Islam tercapai atau
berada pada titik
optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif
kaum Muslim dan kebebasan berpikir
semua warga masyarakat (termasuk mereka
yang non-Muslim).
Kosmopolitanisme seperti itu adalah kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya
warga masyarakat mengambil
inisiatif untuk mencari wawasan
terjauh dari keharusan
berpegang pada kebenaran.
Situasi kreatif yang memungkinkan
pencarian sisi-sisi paling tidak
masuk akal dari kebenaran yang
ingin dicari dan
ditemukan, situasi cair yang
memaksa universalisme ajaran
Islam untuk terus-menerus
mewujudkan diri dalam
bentuk-bentuk nyata, bukannya nyata
dalam postulat-postulat spekulatif
belaka.
Benarkah ajaran Islam menjamin persamaan
hak dan
derajat di antara sesama warga
masyarakat? Mungkinkah keadilan diwujudkan secara konkrit dalam bentuk
kemasyarakatan faktual? Jarak yang demikian
sempit antara kebebasan berfikir di satu pihak dan
imperatif norma-norma ajaran agama memerlukan upaya luar biasa dari para
pemikir, budayawan dan negarawan untuk menjaga jarak antara keduanya, agar
tidak saling menghimpit.
Ketegangan intelektual
(intellectual tension) yang mewarnai situasi seperti itu
akan memotori kosmopolitanisme yang
menjadi keharusan bagi universalisasi nilai-nilai luhur yang ditarik
dari ajaran Islam secara keseluruhan.
Dalam
semangat seperti itulah para zahid (kaum asketik) Muslim dahulu mengembangkan
peradaban Islam. Imam Hasan al-Basri yang demikian dalam tasawufnya, ternyata juga
adalah ilmuwan di bidang
bahasa. Imam al-Khalil
ibn Ahmad al-Farahidi yang dengan kesalehannya yang
luar biasa, ternyata adalah peminat filsafat Yunani kuno, terbukti dari karya agung
beliau, Qamus al-A'ain, yang sepenuhnya
menggunakan pembagian ilmu pengetahuan melalui kategorisasi
filsafat Yunani. Imam Syafi'I mujtahid di bidang hukum
agama (fiqh), justru
menundukkan proses pengambilan hukum
agama (istinbat al-ahkam) kepada sejumlah kaidah metodologis
tertentu, bukannya hanya sekedar menarik hukum dari al-Qur'an dan
Sunnah Nabi belaka. Kelahiran usul fiqh sebagai teori hukum,
sebenarnya merupakan proses kreatif yang
dapat mempertemukan antara kebutuhan masa dan norma ajaran agama,
namun sangat disayangkan
ia akhirnya menjadi alat yang dipergunakan oleh para penganut
fiqh secara tidak kreatif dan dengan
sendirinya berubah fungsi
menjadi alat seleksi yang sangat normatif dan mematikan kreativitas.
Sebuah agenda
baru dapat dikembangkan sejak sekarang untuk
menampilkan kembali universalitas ajaran
Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam di masa datang. Pengembangan
agenda baru itu
diperlukan, mengingat kaum
Muslim sudah menjadi kelompok
dengan pandangan sempit dan sangat eksklusif, sehingga tidak mampu lagi
mengambil bagian dalam
kebangunan peradaban manusia yang
akan muncul di masa
pasca-indrustri nanti (yang sekarang
sudah mulai nampak
sisi pinggirannya dalam cibernetika
dan rekayasa biologis). Kaum Muslim bahkan merupakan beban bagi
kebangkitan peradaban bagi umat manusia nanti. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim hanya
akan menjadi obyek perkembangan sejarah, bukannya pelaku yang
bermartabat dan berderajat penuh
seperti yang lainnya.
Jika itu yang diinginkan,
mau tidak mau
haruslah dikembangkan agenda universalisasi ajaran Islam, sehingga terasa kegunaannya
bagi ummat manusia secara
keseluruhan. Toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian
kepada unsur-unsur utama kemanusiaan dan keprihatinan yang
penuh kearifan akan
keterbelakangan kaum Muslim sendiri
akan memunculkan tenaga
luar biasa untuk membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan
yang begitu kuat mencekam
kehidupan mayoritas kaum
Muslim dewasa ini. Dari proses
itu akan muncul kebutuhan akan kosmopolitanisme baru yang
selanjutnya, akan bersama-sama
faham dan ideologi lain-lain, turut
membebaskan manusia dari
ketidakadilan struktur
sosial-ekonomis dan kebiadaban rejim-rejim politik yang dhalim.
Hanya dengan menampilkan universalisme baru dalam ajarannya dan
kosmopolitanisme baru dalam sikap hidup para pemeluknya, Islam akan
mampu memberikan perangkat sumber daya manusia yang diperlukan oleh si
miskin untuk memperbaiki nasib sendiri secara berarti dan mendasar, melalui
penciptaan etika sosial baru yang penuh dengan semangat solidaritas
sosial dan jiwa transformatif yang prihatin dengan nasib orang kecil.
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174
No comments:
Post a Comment