1.
Ummu
Salamah Radhiyallahu ‘anha (wafat 59 H)
1)
Biografi
Ummu
Salamah adalah seorang Ummul-Mukminin yang berkepribadian
kuat, cantik, dan menawan, serta memiliki semangat jihad dan kesabaran dalam
menghadapi cobaan, lebih-lebih setelah berpisah dengan suami dan anak-anaknya.
Berkat kematangan berpikir dan ketepatan dalam mengambil keputusan, dia
mendaparkan kedudukan mulia di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
Di dalam sirah
Ummahatul Mukminin dijelaskan tentang banyaknya sikap mulia dan peristiwa
penting darinya yang dapat diteladani kaum muslimin, baik sikapnya sebagai
istri yang selalu menjaga kehormatan keluarga maupun sebagai pejuang di jalan
Allah.
Nama sebenarnya Ummu
Salamah adalah Hindun binti Suhail, dikenal dengan narna Ummu Salamah. Beliau
dibesarkan di lingkungan bangsawan dari Suku Quraisy. Ayahnya bernama Suhail
bin Mughirah bin Makhzurn. Di kalangan kaumnya, Suhail dikenal sebagai seorang
dermawan sehingga dijuluki Dzadur-Rakib (penjamu para musafir) karena dia
selalu menjamu setiap orang yang menyertainya dalam perjalanan. Dia adalah
pemimpin kaumnya, terkaya, dan terbesar wibawanya. Ibu dari Ummu Salamah
bernama Atikah binti Amir bin Rabi’ah bin Malik bin Jazimah bin Alqamah
al-Kananiyah yang berasal dari Bani Faras. Demikianlah, Hindun dibesarkan di
dalam lingkungan bangsawan yang dihormati dan disegani. Kecantikannya
meluluhkan setiap orang yang melihatnya dan kebaikan pribadinya telah tertanam
sejak kecil.
2)
Pernikahan
dan Perjuangannya
Banyak pemuda Mekah
yang ingin mempersunting Hindun, dan yang berhasil menikahinya adalah Abdullah
bin Abdul Asad bin Hilal bin Abdullah bin Umar bin Makhzum, seorang penunggang
kuda terkenal dari pahlawan-pahlawan suku Bani Quraisy yang gagah berani.
Ibunya bernama Barrah binti Abdul-Muththalib bin Hasyim, bibi Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam. Abdullah adalah saudara sesusuan Nabi dari Tsuwaibah, budak
Abu Lahab. Mereka hidup bahagia, dan rumah tangga mereka diliputi kerukunan dan
kesejahteraan.
Tidak lama setelah
itu, dakwah Islam menarik hati mereka sehingga mereka memeluk Islam dan menjadi
orang-oramg pertama yang masuk Islam. Begitu pula dengan Hindun, dia tergolong
orang-orang yang pertama masuk Islam, dan bersama suaminya memulai perjuangan
dalam hidup mereka.
Orang-orang Quraisy
selalu mengganggu dan menyiksa kaum muslimin agar mereka meninggalkan agama
Islam dan kembali ke agama nenek moyang mereka. Melihat kondisi seperti itu,
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mengizinkan mereka untuk hijrah ke
Habasyah, sehingga mereka disebut sebagai kaum muhajirin yang pertama. Mereka
menetap di Habasyah, dan di sana Hindun melahirkan anak-anaknya: Zainab,
Salamah, Umar, dan Durrah.
Setelah beberapa
lama, mereka berniat kembali ke Mekah, terutama setelah mendengar keislaman dua
tokoh penting Quraisy, Umar bin Khaththab dan Hamzah bin Abdul-Muththalib. Akan
tetapi, ternyata penyiksaan masih terus berlangsung, bahkan bertambah dahsyat.
Untuk menjaga kehormatan diri dan keluarganya, Abu Salamah meminta perlindungan
dari Abu Thalib (paman Nabi) dari siksaan kaumnya, yaitu Bani Makhzum, dan Abu
Thalib menyatakan perlindungannya.
3)
Cobaan
Datang
Karena orang-orang
Quraisy masih saja menyiksa kaum muslimin, akhirnya Allah membuka hati penduduk
Madinah untuk menerima Islam. Kemudian Rasulullah mengizinkan kaum muslimin
untuk hijrah ke sana, baik secara kelompok maupun perseorangan. Abu Salamah,
istri, dan anaknya (Salamah) hijrah ke sana. Di tengah perjalanan mereka
dihadang oleh kaum Bani Makhzum (kaumnya Ummu Salamah) yang kemudian merampas
serta menyandera Ummu Salamah. Keluarga Abu Salamah (Bani Asad) ikut campur
tangan dan mereka menolak menyerahkan Salamah, bahkan si anak dirampas dan
dijauhkan dari ibunya. Sedangkan Bani Makhzum menculik Ummu Salamah dan
dipenjara. Adapun Abu Salamah dibiarkan ke Yatsrib dengan hati penuh kesedihan
karena harus berpisah dengan istri dan anaknya.
Keadaan demikian
berjalan kurang lebih setahun lamanya. Ummu Salamah terus-menerus menangis
karena kecewa atas perbuatan kaumnya, sehingga akhirnya ada seorang laki-laki
dari kaumnya yang merasa iba dan membiarkan Ummu Salamah menyusul suaminya di
Madinah. Adapun Bani Asad menyerahkan kembali putranya, Salamah, kepadanya.
Akan tetapi, banyak rintangan yang harus dia hadapi, dan berkat keimanan dan
keinginan yang kuat, dia mampu mengatasi semua itu dan tiba di Madinah.
4)
Pesan
Abu Salamah untuk Istrinya
Dalam membela Islam,
peran Abu Salamah sangat besar. Dia dikenal berani dalam berperang. Rasulullah
menghargainya dengan mengangkatnya sebagai wakil Rasulullah di Madinah ketika
beliau pergi memimpin pasukan dalam perang Dzil Asyirah pada tahun kedua
hijriah. Abu Salamah ikut dalam Perang Badar dan Uhud. Ketika dalam perang
Uhud, Abu Salamah mengalami luka yang cukup parah dan nyaris meninggal, namun
beberapa saat kemudian dia sembuh.
Setelah Perang Uhud,
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mencrima berita bahwa Bani Asad hendak
menyerang kaum muslimin di Madinah. Sebelum mereka menyerang, Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. berinisiatif mendahului mereka. Dalam misi ini,
beliau menunjuk Abu Salamah untuk memimpin pasukan yang berjumlah seratus lima
puluh orang dan di dalamnya terdapat Saad bin Abi Waqash, Abu Ubaidah bin
Jarrah, Amir bin Jarrah, dan yang lainnya. Pasukan diarahkan ke Bukit Quthn,
tempat mata air Bani Asad. Kemenangan gemilang diraih oleh pasukan Abu Salamah,
dan mereka kembali ke Madinah dengan membawa banyak harta rampasan perang. Di
Madinah, luka-luka Abu Salamah karnbuh sehingga dia harus beristirahat beberapa
waktu. Ketika sakit, Rasulullah selalu menjenguk dan mendoakannya.
Ummu Salamah selalu
mendampingi suaminya yang sedang dalam keadaan sakit sehingga dia merawat dan
menjaganya siang dan malam. Suatu hari, demam Abu Salamah menghebat, kemudian
Ummu Salamah berkata kepada suaminya, “Aku mendapat benita bahwa seorang
perempuan yang ditinggal mati suaminya, kemudian suaminya masuk surga, istrinya
pun akan masuk surga, jika setelah itu istrinya tidak menikah lagi, dan Allah
akan mengumpulkan mereka nanti di surga. Demikian pula jika si istri yang
meninggal, dan suaminya tidak menikah lagi sepeninggalnya. Untuk itu, mari kita
berjanji bahwa engkau tidak akan menikah lagi sepeninggalku, dan aku berjanji
untukmu untuk tidak menikah lagi sepeninggalmu.” Abu Salamah berkata, “Maukah
engkau menaati perintahku?” Dia menjawab, “Adapun saya bermusyawarah hanya
untuk taat.” Abu Salamah berkata, “Seandainya aku mati, maka menikahlah.” Lalu
dia berdoa kepada Allah ”Ya Allah, kurniakanlah kepada Ummu Salamah sesudahku
seseorang yang lebih baik dariku, yang tidak akan menyengsarakan dan
menyakitinya.”
Pada detik-detik
akhir hidupnya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. selalu berada di
samping Abu Salamah dan senantiasa memohon kesembuhannya kepada Allah. Akan
tetapi, Allah berkehendak lain. Beberapa saat kemudian maut datang menjemput.
Rasulullah menutupkan kedua mata Abu Salamah dengan tangannya yang mulia dan
bertakbir sembilan kali. Di antara yang hadir ada yang berkata, “Ya Rasulullah,
apakah engkau sedang dalam keadaan lupa?” Beliau menjawab, “Aku sama sekali
tidak dalam keadaan lupa, sekalipun bertakbir untuknya seribu kali, dia berhak
atas takbir itu.” Kemudian beliau menoleh kepada Ummu Salamah dan bersabda,
“Barang siapa yang ditimpa suatu musibah, maka ucapkanlah sebagaimana yang
telah dperintahkan oleh Allah, ‘Sesungguhnya kita milik Allah, dan
kepada-Nyalah kita akan dikembalikan. Ya Allah, karuniakanlah bagiku dalam
musibahku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya, maka Allah akan
melaksanakannya untuknya.”
Setelah itu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. berdo’a: “Ya Allah, berilah ketabahan atas kesedihannya, hiburlah dia dari musibah yang menimpanya, dan berilah pengganti yang lebih baik untuknya.”
Setelah itu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. berdo’a: “Ya Allah, berilah ketabahan atas kesedihannya, hiburlah dia dari musibah yang menimpanya, dan berilah pengganti yang lebih baik untuknya.”
Abu Salamah wafat
setelah berjuang menegakkan Islam, dan dia telah memperoleh kedudukan yang
mulia di sisi Rasulullah. Sepeninggal Abu Salamah, Ummu Salarnah diliputi rasa
sedih. Dia menjadi janda dan ibu bagi anak-anak yatim.
Setelah wafatnya Abu
Salarnah, para pemuka dari kalangan sahabat bersegera meminang Ummu Salamah.
Hal ini mereka lakukan sebagai tanda penghormatan terhadapat suaminya dan untuk
melindungi diri Ummu Salamah. Maka Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin
al-Khaththab meminangnya, tetapi Ummu Salamah menolaknya.
Pada saat dirundung
kesedihan atas suami yang benar-benar dicintainya serta belum mendapatkan orang
yang lebih baik darinya, ia didatangi oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam. dengan maksud menghiburnya dan meringankan apa yang dialaminya.
Rasulullah berkata kepadanya, “Mintalah kepada Allah agar Dia memberimu pahala
pada musibahmu serta menggantikan untukmu (suami) yang lebih baik.” Ummu
Salamah bertanya, “Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah, wahai Rasulullah?”
5)
Di
Rumah Rasulullah.
Rasulullah mulai
memikirkan perkara Ummu Salamah, seorang mukminah mujahidah yang memiliki
kesabaran, dan Ummu Salamah pun telah menolak lamaran dua sahabatnya, Abu Bakar
dan Umar. Rasulullah pun berpikir dengan penuh pertimbangan dan kasih sayang
untuk tidak membiarkannya larut dalam kesedihan dan kesendirian.
Dalam keadaan seperti
itu Rasulullah mengutus Hathib bin Abi Balta’ah menemui Ummu Salarnah dengan
maksud meminangnya untuk beliau. Maka oleh Ummu Salamah diterimanya pinangan
tersebut. Bagaimana mungkin baginya untuk tidak menerima pinangan dari orang
yang lebih baik dari Abu Salamah, bahkan lebih baik dan semua orang di dunia.
Dengan perkawinan
tersebut maka Ummu Salamah termasuk kalangan Ummahatul- Mukminin, dan oleh
Rasulullah ia ditempatkan di kamar Zainab binti Khuzaimah yang digelari
Ummul-Masakiin (ibu bagi orang-orang miskin) sampai Ummu Salamah meninggal
dunia.
Hal itu diceritakan
oleh Ummu Salamah kepada kami. Ia berkata, “Aku dipersunting oleh Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam., lalu aku dipindahkan dan ditempatkan di rumah
Zainab (ummul- masakiin).”
Beberapa keistimewaan
yang dimiliki Ummu Salamah adalah ketajaman logika, kematangan berpikir, dan
keputusan yang benar atas banyak perkara. Karena itu, ia memiliki kedudukan
yang agung di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam., seperti
interaksinya dengan para Ummahatul-Mukminin yang merupakan interaksi yang
diliputi rasa kasih sayang dan kelemahlembutan.
6)
Kedudukannya
yang Agung
Di antara perkara
yang menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam adalah apa yang diceritakan Urwah bin Zubair “Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam. menyuruh Ummu Salamah melaksanakan shalat shubuh di Mekah pada
hari penyembelihan (qurban) — padahal saat itu merupakan hari (giliran)nya.
Oleh sebab itu, Rasulullah merasa senang atas kesetujuannya.”
Begitu juga hadits
Ummi Kulsum binti Uqbah yang dimasukkan oleh Ibnu Sa’ad dalam (kitab)
Thabaqat-nya. Ummi Kultsum berkata, “Tatkala Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
menikahi Ummu Salamah, belau berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya aku menghadiahkan
untuk Raja Najasyi sejumlah bejana berisikan minyak wangi dan selimut. Akan
tetapi, aku bermimpi bahwa Raja Najasyi itu telah meninggal dunia, kemudian
hadiah yang kuberikan kepadanya dikembalikan kepadaku. Karena dikembalikan
kepadaku, maka barang tersebut menjadi milikkü.”
Sebagaimana yang
dikatakan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam., Raja Najasyi meninggal dunia, dan
hadiah tersebut dikembalikan kepadanya. Lalu beliau memberikan kepada setiap
istrinya masing-masing satu uqiyah (1/2 liter Mesir) dan beliau memberi (sisa)
keseluruhannya serta selimut kepada Ummu Salamah.
Setelah Ummu Salamah
menjadi istrinya, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. memasukkannya dalam
kalangan ahlul-bait. Di antara riwayat tentang masalah tersebut adalah
bahwasanya pernah pada suatu hari Rasulullah berada di sisi Ummu Salamah, dan
anak perempuan Ummu Salamah ada di sana. Rasulullah kemudian didatangi anak
perempuannya, Fathimah az-Zahra, disertai kedua anaknya, Hasan dan Husain r.a.,
lalu Rasullah memeluk Fathimah dan berkata, “Semoga rahmat Allah dan berkah-Nya
tercurah pada kalian wahai ahlul-bait. Sesungguhnya Dia Maha Terpuji (lagi)
Maha Mulia.”
Lalu menangislah Ummu
Salamah. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. menanyakan tentang
penyebab tangisnya itu. Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, engkau mengistimewakan
mereka sedangkan aku dan anak perempuanku engkau tinggalkan. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya engkau dan anak perempuanmu termasuk keluargaku.”
Anak perempuan Ummu
Salamah, Zainab, tumbuh dalam peliharaan Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam. ia termasuk di antara wanita yang memiliki ilmu yang luas pada
masanya.
Sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mempersunting Ummu Salamah, wahyu pernah turun kepada Rasulullah di kamar Aisyah, yang dengan hal itu Aisyah membanggakannya pada istri-stri beliau yang lain. Maka setelah Rasulullah menikahi Ummu Salamah, wahyu turun kepadanya ketika beliau berada di kamar Ummu Salamah.
Sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mempersunting Ummu Salamah, wahyu pernah turun kepada Rasulullah di kamar Aisyah, yang dengan hal itu Aisyah membanggakannya pada istri-stri beliau yang lain. Maka setelah Rasulullah menikahi Ummu Salamah, wahyu turun kepadanya ketika beliau berada di kamar Ummu Salamah.
7)
Beberapa
Sikap Cemerlang pada Masa Hidup Ummu Salamah.
Di antara sikap
agungnya adalah apa yang ditunjukkannya pada Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam. pada hari (perjanjian) Hudaibiyah. Pada waktu itu ia menyertai
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. dalam perjalanannya menuju Mekah dengan
tujuan menunaikan umrah, tetapi orang-orang musyrik mencegah mereka untuk
memasuki Mekah, dan terjadilah Perjanjian Hudaibiyah antara kedua belah pihak.
Akan tetapi, sebagian besar kaum muslimin merasa dikhianati dan merasa bahwa
orang-orang musyrik menyianyiakan sejumlah hak-hak kaum muslimin. Di antara
mayoritas yang menaruh dendam itu adalah Umar bin al-Khaththab, yang berkata
kepada Rasulullah dalam percakapannya dengan beliau, “Atas perkara apa kita
serahkan nyawa di dalam agama kita?” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
menjawab, “Saya adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Aku tidak akan menyalahi
perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyianyiakanku.” Akan tetapi, tanda-tanda
bahaya semakin memuncak setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
menyuruh kaum muslimin melaksanakan penyembelihan hewan qurban kemudian
bercukur, tetapi tidak seorang pun dari mereka melaksanakannya. Beliau
mengulang seruannya tiga kali tanpa ada sambutan. Beliau menemui istrinya, Ummu
Salamah, dan menceritakan kepadanya tentang sikap kaum muslimin. Ummu Salamah
berkata, “Wahai Nabi Allah, apakah engkau menginginkan perintah Allah ini
dilaksanakan oleh kaum muslimin? Keluarlah engkau, kemudian janganlah mengajak
bicara sepatah kata seorang pun dari mereka sampai engkau menyembelih qurbanmu serta
memanggil tukang cukur yang mencukurmu.”
Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. kagum atas pendapatnya dan bangkit mengerjakan
sebagaimana yang diusulkan Ummu Salamah. Tatkala kaum muslimin melihat
Rasulullah mengerjakan hal itu tanpa berkata kepada mereka, mereka bangkit dan
menyembelih serta sebagian dari mereka mulai mencukur kepala sebagian yang lain
tanpa ada perasaan keluh kesah dan penyesalan atas tindakan Rasulullah yang
mendahului mereka.
Ummu Salamah telah
menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. di banyak peperangan, yaitu
peperangan Khaibar, Pembebasan Mekah, pengepungan Tha’if, peperangan Hawazin,
Tsaqif kemudian ikut bersama beliau di Haji Wada’.
Kita tidak melupakan
sikapnya terhadap Umar bin al-Khaththab, tatkala Urnar datang kepadanya dan
mengajak bicara tentang perkara keperluan Ummahatul-Mukminin kepada Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. serta kekasaran mereka terhadap Rasulullah. Maka
ia berkata, “Engkau ini aneh, wahai anak al-Khaththab. Engkau telah ikut campur
di setiap perkara sehingga ingin mencampuri urusan Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam. beserta istri-istrinya?”
Setelah Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam. meninggal dunia ia senantiasa mengenang beliau dan
sangat berduka cita atas kewafatannya. Beliau senantiasa banyak melakukan puasa
dan beribadah, tidak kikir pada ilmu, serta meriwayatkan hadits yang berasal
dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
Telah diriwayatkannya
sekian banyak hadits shahih yang bersumber dari Rasulullah dan suaminya, Abu Salamah,
serta dari Fathimah az-Zahraa Sedangkan orang yang meriwayatkan darinya banyak
sekali, di antara mereka adalah anak-anaknya dan para pemuka dan sahabat serta
ahli hadits.
Di antara beberapa
sikapnya yang nyata adalah pada hari pembebasan kota Mekah. Waktu itu Nabi
keluar dari Madinah bersarna bala tentaranya dengan kehebatan dan jumlah yang
belum pernah disaksikan oleh bangsa Arab, sehingga orang-orang musyrik Quraisy
merasa takut, dan mereka keluar dari rumah dengan rnaksud menemui Rasulullah untuk
bertobat dan menyatakan keislaman mereka.
Termasuk dari mereka,
Abu Sufyan bin al-Harts bin Abdul-Muththalib (anak paman Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam.) dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah (anak bibi [dari
ayah] Rasulullah, saudara Ummu Salamah sebapak). Ketika mereka berdua meminta
izin masuk menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam., beliau enggan
memberi izin masuk bagi keduanya disebabkan penyiksaan mereka yang keras
terhadap kaurn muslimin menjelang beliau hijrah dari Mekah.
Maka berkatalah Ummu
Salamah kepada Rasulullah dengan perasaan iba terhadap keluarganya sendiri dan
juga keluarga Rasulullah, “Wahai Rasulullah, mereka berdua adalah anak parnanmu
dan anak bibirnu (dan ayah) serta iparmu.” Rasulullah menjawab, “Tidak ada
keperluan bagiku dengan mereka berdua.
Adapun anak pamanku,
aku telah diperlakukan olehnya dengan tidak baik. Adapun anak bibiku (dari
ayah) serta iparku telah berkata di Mekah dengan apa yang ia katakan.”
Pernyataan itu telah
sampai kepada Abu Sufyan, anak paman Rasulullah. Maka ia berkata, “Demi Allah,
ia harus mengizinkanku atau aku mengambil anak ini dengan kedua tanganku -pada
saat itu ia bersama anaknya, Ja’far- kemudian karni harus berkelana di dunia
sehingga mati kehausan dan kelaparan.”
Lalu Ummu Salamah
memberitahukan perkataan Abu Sufyan tersebut kepada Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam. dengan kembali memohon rasa belas kasih. Akhirnya hati beliau
menjadi luluh, lalu mengizinkan keduanya masuk. Maka masuklah keduanya dan
menyatakan keislaman serta bertobat di hadapan Rasulullah.
8)
Sikapnya
terhadap Fitnah
Ummu Salamah selalu
berada di rumahnya, senantiasa ikhlas beribadah kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dan menjaga Sunnah suaminya tercinta pada masa (khilafah) Abu Bakar
ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab.
Pada masa khilafah
Utsman bin Affan ia melihat kegoncangan situasi serta perpecahan kaum muslimin
di seputar khalifah. Bahaya fitnah sernakin memuncak di langit kaum muslimin.
Maka ia pergi menernui Utsman dan menasihatinya supaya tetap berpegang teguh
pada petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. serta petunjuk Abu Bakar
dan Umar bin al-Khaththab, tidak menyimpang dan petunjuk tersebut
selama-lamanya.
Apa yang
dikhawatirkan Ummu Salamah terjadi juga, yaitu peristiwa terbunuhnya Utsman
yang saat itu tengah membaca Al-Qur’an dan angin fitnah tengah bertiup kencang
terhadap kaurn muslimin. Pada saat itu Aisyah telah membulatkan tekad untuk
keluar menuju Bashrah disertai Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin al-’Awwam
dengan tujuan mernobilisasi massa untuk melawan Ali bin Abi Thalib. Maka Ummu
Salamah mengirim surat yang memiliki sastra indah kepada Aisyah.
Dari
Ummu Salamah, Istri Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam., untuk Aisyah Ummul-Mu’
minin.
Sesungguhnya
aku memuji Allah yang tidak ada ilah (Tuhan) melainkan Dia. Amma ba’du.
Engkau
sungguh telah merobek pembatas antara Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
dan umatnya yang merupakan hijab yang telah ditetapkan keharamannya. Sungguh
Al-Qur’an telah memberimu kemuliaan, maka jangan engkau lepaskan.
Dan
Allah telah menahan suaramu, maka janganlah engkau mengeluarkannya Serta Allah
telah tegaskan bagi umat ini seandainya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
mengetahui bahwa kaum wanita memiliki kewajiban jihad (berperang) niscaya beliau
berpesan kepadamu untuk menjaganya.
Tidakkah
engkau tahu bahwasanya beliau melarangmu melampaui batas dalam agama, karena
sesungguhnya tiang agama tidak bisa kokoh dengan campur tangan wanita apabila
tiang itu telah miring, dan tidak bisa diperbaiki oleh wanita apabila telah
hancur.
Jihad
wanita adalah tunduk kepada segala ketentuan, mengasuh anak, dan mencurahkan
kasih sayangnya.
Ummu Salamah berada
di pihak Ali bin Abi Thalib karena beliau menggikuti kesepakatan kaum muslimin
atas terpilihnya beliau sebagai khalifah mereka. Karena itu, Ummu Salamah
mengirim/mengutus anaknya, Umar, untuk ikut berperang dalan barisan Ali.
9)
Saat
Wafatnya
Pada tahun ke-59
hijriah, usia Ummu Salamah telah mencapai 84 tahun. Usia tua dan pikun merambah
di pertambahan umurnya. Allah ta’ala mengangkat rohnya yang suci naik ke atas
menuju hadirat-Nya. Ia meninggal dunia setelah hidup dengan aktivitas yang
dipenuhi oleh pengorbanan, jihad, dan kesabaran di jalan Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dan Rasul-Nya.
Beliau dishalatkan
oleh Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu dan dikuburkan di al-Baqi’ di samping
kuburan Ummahatul-Mukminin lainnya.
Semoga
rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Ummu Salamah. dan semoga Allah
memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin
No comments:
Post a Comment