1.
'Utsman
bin 'Affan Radhiyallahu 'anhu (wafat 35 H)
1)
Biografi
Nama lengkapnya
adalah ‘Utsman bin Affan bin Abi Ash bin Umayah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf
al Umawy al Qurasy, pada masa Jahiliyah ia dipanggil dengan Abu ‘Amr dan pada
masa Islam nama julukannya (kunyah) adalah Abu ‘Abdillah. Dan juga ia digelari
dengan sebutan “Dzunnuraini”, dikarenakan beliau menikahi dua puteri Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassalam yaitu Ruqayah dan Ummu Kaltsum. Ibunya bernama
Arwa’ bin Kuraiz bin Rabi’ah bin Habib bin ‘Abdi Syams yang kemudian menganut
Islam yang baik dan teguh.
2)
Keutamaannya
Imam Muslim telah
meriwayatkan dari ‘Aisyah, seraya berkata,” Pada suatu hari Rasulullah sedang
duduk dimana paha beliau terbuka, maka Abu Bakar meminta izin kepada beliau
untuk menutupinya dan beliau mengizinkannya, lalu paha beliau tetap dalam
keadaan semula (terbuka). Kemudian Umar minta izin untuk menutupinya dan beliau
mengizinkannnya, lalu paha beliau tetap dalam keadaan semula (terbuka), ketika
Utsman meminta izin kepada beliau, maka beliau melepaskan pakaiannya (untuk
menutupi paha terbuka). Ketika mereka telah pergi, maka aku (Aisyah)
bertanya,”Wahai Rasulullah, Abu Bakar dan Umar telah meminta izin kepadamu
untuk menutupinya dan engkau mengizinkan keduanya, tetapi engkau tetap berada
dalam keadaan semula (membiarkan pahamu terbuka), sedangkan ketika Utsman
meminta izin kepadamu, maka engkau melepaskan pakaianmu (dipakai untuk
menutupinya). Maka Rasulullah menjawab,” Wahai Aisyah, Bagaimana aku tidak
merasa malu dari seseorang yang malaikat saja merasa malu kepadanya”.
Ibnu ‘Asakir dan yang
lainnya menjelaskan dalam kitab “Fadhail ash Shahabah” bahwa Ali bin Abi Thalib
ditanya tentang Utsman, maka beliau menjawab,” Utsman itu seorang yang memiliki
kedudukan yang terhormat yang dipanggil dengan Dzunnuraini, dimana Rasulullah
menikahkannya dengan kedua putrinya.
3)
Perjalanan
hidupnya
Perjalanan hidupnya
yang tidak pernah terlupakan dalam sejarah umat islam adalah beliau membukukan
Al-Qura’an dalam satu versi bacaan dan membuat beberapa salinannya yang dikirim
kebeberapa negeri negeri Islam. Serta memerintahkan umat Islam agar berpatokan
kepadanya dan memusnahkan mushaf yang dianggap bertentangan dengan salinan
tersebut. Atas Izin allah Subhanahu wa ta’ala, melalui tindakan beliau ini umat
Islam dapat memelihara ke autentikan Al-Qur’an samapai sekarang ini. Semoga
Allah membalasnya dengan balasan yang terbaik.
Diriwayatkan dari
oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnadnya dari yunus bahwa ketika al
Hasan ditanya tentang orang yang beristirahat pada waktu tengah hari di masjid
?. maka ia menjawab,”Aku melihat Utsman bin Affan beristirahat di masjid,
padahal beliau sebagai Khalifah, dan ketika ia berdiri nampak sekali bekas
kerikil pada bagian rusuknya, sehingga kami berkata,” Ini amirul mukminin, Ini
amirul mukminin..”
Diriwayatkan oleh Abu
Na’im dalam kitabnya “Hulyah al Auliyah” dari Ibnu Sirin bahwa ketika Utsman
terbunuh, maka isteri beliau berkata,” Mereka telah tega membunuhnya, padahal
mereka telah menghidupkan seluruh malam dengan Al-Quran”.
Ibnu Abi Hatim telah
meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, seraya ia berkata dengan firman Allah”.
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang
beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada
(azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Qs
Az-Zumar:9) yang dimaksud adalah Utsman bin Affan.
4)
Wafatnya
Ia wafat pada tahun
35 H pada pertengahan tasyriq tanggal 12 Dzul Hijjah, dalam usia 80 tahun
lebih, dibunuh oleh kaum pemberontak (Khawarij).
2.
Ali
bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu
1)
Biografi
Khalifah keempat
(terakhir) dari al-Khulafa’ ar-Rasyidun (empat khalifah besar); orang pertama
yang masuk Islam dari kalangan anak-anak; sepupu Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam yang kemudian menjadi menantunya. Ayahnya, Abu Talib bin Abdul
Muttalib bin Hasyim bin Abd Manaf, adalah kakak kandung ayah Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam, Abdullah bin Abdul Muttalib. Ibunya bernama Fatimah binti
As’ad bin Hasyim bin Abd Manaf. Sewaktu lahir ia diberi nama Haidarah oleh
ibunya. Nama itu kemudian diganti ayahnya dengan Ali.
Ketika berusia 6
tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam,
sebagaimana Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam pernah diasuh oleh yahnya. ada
waktu Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam diangkat menjadi rasul, Ali baru
menginjak usia 8 tahun. Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam,
setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. Sejak
itu ia selalu bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, taat kepadanya,
dan banyak menyaksikan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menerima wahyu.
Sebagai anak asuh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, ia banyak menimba
ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara
teoretis dan praktis.
Sewaktu Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar as-Siddiq, Ali
diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam dan tidur di tempat tidurnya. Ini dimaksudkan untuk memperdaya kaum
Kuraisy, supaya mereka menyangka bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam masih
berada di rumahnya. Ketika itu kaum quraisy merencanakan untuk membunuh Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam. Ali juga ditugaskan untuk mengembalikan sejumlah
barang titipan kepada pemilik masing-masing. Ali mampu melaksanakan tugas yang
penuh resiko itu dengan sebaik-baiknya tanpa sedikit pun merasa takut. Dengan
cara itu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dan Abu Bakar selamat
meninggalkan kota Mekah tanpa diketahui oleh kaum Kuraisy.
Setelah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dan Abu Bakar telah sampai ke Madinah, Ali pun menyusul ke sana. Di Madinah, ia dikawinkan dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, yang ketika itu (2 H) berusia 15 tahun. Ali menikah dengan 9 wanita dan mempunyai 19 orang putra-putri. Fatimah adalah istri pertama. Dari Fatimah, Ali mendapat dua putra dan dua putri, yaitu Hasan, Husein, Zainab, dan Ummu Kulsum yang kemudian diperistri oleh Umar bin Khattab.
Setelah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dan Abu Bakar telah sampai ke Madinah, Ali pun menyusul ke sana. Di Madinah, ia dikawinkan dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, yang ketika itu (2 H) berusia 15 tahun. Ali menikah dengan 9 wanita dan mempunyai 19 orang putra-putri. Fatimah adalah istri pertama. Dari Fatimah, Ali mendapat dua putra dan dua putri, yaitu Hasan, Husein, Zainab, dan Ummu Kulsum yang kemudian diperistri oleh Umar bin Khattab.
Setelah Fatimah
wafat, Ali menikah lagi berturut-turut dengan:
Ummu Bamin binti Huzam dari Bani Amir bin Kilab, yang melahirkan empat
putra, yaitu Abbas, Ja’far, Abdullah, dan Usman. Laila binti Mas’ud
at-Tamimiah, yang melahirkan dua putra, yaitu Abdullah dan Abu Bakar. Asma
binti Umair al-Kuimiah, yang melahirkan dua putra, yaitu Yahya dan Muhammad.
As-Sahba binti Rabi’ah dari Bani Jasym bin Bakar, seorang janda dari Bani
Taglab, yang melahirkan dua nak, Umar dan Ruqayyah; Umamah binti Abi Ass bin
ar-Rabb, putri Zaenab binti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, yang
melahirkan satu anak, yaitu Muhammad. Khanlah binti Ja’far al-Hanafiah, yang
melahirkan seorang putra, yaitu Muhammad (al-Hanafiah). Ummu Sa’id binti Urwah
bin Mas’ud, yang melahirkan dua anak, yaitu Ummu al-Husain dan Ramlah. Mahyah
binti Imri’ al-Qais al-Kalbiah, yang melahirkan seorang anak bernama Jariah.
Ali dikenal sangat
sederhana dan zahid dalam kehidupan sehari-hari. Tidak tampak perbedaan dalam
kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai khalifah.
Kehidupan sederhana itu bukan hanya diterapkan kepada dirinya, melainkanj uga
kepada putra-putrinya.
Ali terkenal sebagai
panglima perang yang gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati
lawan-lawannya. Ia mempunyai sebilah pedang (warisan dari Nabi Shallallahu
Alaihi Wassalam) bernama “Zul Faqar”. Ia turut-serta pada hampir semua
peperangan yang terjadi di masa Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan selalu
menjadi andalan pada barisan terdepan.
Ia juga dikenal
cerdas dan menguasai banyak masalah keagamaan secara mendalam, sebagaimana
tergambar dari sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, “Aku kota ilmu
pengetahuan sedang Ali pintu gerbangnya.” Karena itu, nasihat dan fatwanya
selalu didengar para khalifah sebelumnya. Ia selalu ditempatkan pada jabatan
kadi atau mufti. Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam wafat, Ali
menunggui jenazahnya dan mengurus pemakamannya, sementara sahabat-sahabat
lainnya sibuk memikirkan soal pengganti Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.
Setelah Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pengganti Nabi Shallallahu Alaihi
Wassalam dalam mengurus negara dan umat Islam, Ali tidak segera membaiatnya. Ia
baru membaiatnya beberapa bulan kemudian.
Pada akhir masa
pemerintahan Umar bin Khattab, Ali termasuk salah seorang yang ditunjuk menjadi
anggota Majlis asy-Syura, suatu forum yang membicarakan soal penggantian
khalifah. Forum ini beranggotakan enam orang. Kelima orang lainnya adalah Usman
bin Affan, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’d bin Abi Waqqas, dan
Abdur Rahman bin Auf. Hasil musyawarah menentukan Usman bin Affan sebagai
khalifah pengganti Umar bin Khattab.
Pada masa
pemerintahan Utsman bin Affan, Ali banyak mengkritik kebijaksanaannya yang
dinilai terlalu memperhatikan kepentingan keluarganya (nepotisme). Ali
menasihatinya agar bersikap tegas terhadap kaum kerabatnya yang melakukan
penyelewengan dengan mengatasnamakan dirinya. Namun, semua nasihat itu tidak
diindahkannya. Akibatnya, terjadilah suatu peristiwa berdarah yang berakhir
dengan terbunuhnya Utsman.
Kritik Ali terhadap
Utsman antara lain menyangkut Ubaidillah bin Umar, yang menurut Ali harus
dihukum hadd (beberapa jenis hukuman dalam fikih) sehubungan dengan pembunuhan
yang dilakukannya terhadap Hurmuzan. Utsman juga dinilai keliru ketika ia tidak
melaksanakan hukuman cambuk terhadap Walib bin Uqbah yang kedapatan mabuk. Cara
Utsman memberi hukuman kepada Abu Zarrah juga tidak disetujui Ali.
Utsman meminta bantuan kepada Ali ketika ia sudah dalam keadaan terdesak akibat protes dan huru-hara yang dilancarkan oleh orang-orang yang tidak setuju kepadanya. Sebenarnya, ketika rumah Usman dikepung oleh kaum pemberontak, Ali memerintahkan kedua putranya, Hasan dan Husein, untuk membela Utsman. Akan tetapi karena pemberontak berjumlah besar dan sudah kalap, Utsman tidak dapat diselamatkan.
Segera setelah terbunuhnya Utsman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Utsman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr.” Dalam suasana yang masih kacau, akhirnya Ali dibaiat. Pembaiatan dimulai oleh sahabat-sahabat besar, yaitu Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’d bin Abi Waqqas, dan para sahabat lainnya. Mereka diikuti oleh rakyat banyak. Pembaiatan dilakukan pada tanggal 25 Zulhijah 33 di Masjid Madinah seperti pembaiatan para khalifah pendahulunya.
Utsman meminta bantuan kepada Ali ketika ia sudah dalam keadaan terdesak akibat protes dan huru-hara yang dilancarkan oleh orang-orang yang tidak setuju kepadanya. Sebenarnya, ketika rumah Usman dikepung oleh kaum pemberontak, Ali memerintahkan kedua putranya, Hasan dan Husein, untuk membela Utsman. Akan tetapi karena pemberontak berjumlah besar dan sudah kalap, Utsman tidak dapat diselamatkan.
Segera setelah terbunuhnya Utsman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Utsman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr.” Dalam suasana yang masih kacau, akhirnya Ali dibaiat. Pembaiatan dimulai oleh sahabat-sahabat besar, yaitu Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’d bin Abi Waqqas, dan para sahabat lainnya. Mereka diikuti oleh rakyat banyak. Pembaiatan dilakukan pada tanggal 25 Zulhijah 33 di Masjid Madinah seperti pembaiatan para khalifah pendahulunya.
Segera setelah
dibaiat, Ali mengambil langkah-langkah politik, yaitu: Memecat para pejabat
yang diangkat Utsman, termasuk di dalamnya beberapa gubernur, dan menunjuk
penggantinya. Mengambil tanah yang telah dibagikan Utsman kepada keluarga dan
kaum kerabatnya tanpa alasan kedudukan sebagai khalifah sampai terbunuh pada
tahun 661.
Pemberontakan ketiga
datang dari Aliran Khawarij, yang semula merupakan bagian dari pasukan Ali
dalam menumpas pemberontakan Mu’awiyah, tetapi kemudian keluar dari barisan Ali
karena tidak setuju atas sikap Ali yang menerima tawaran berdamai dari pihak
Mu’awiyah. Karena mereka keluar dari barisan Ali, mereka disebut “Khawarij”
(orang-orang yang keluar). Jumlah mereka ribuan orang. Dalam keyakinan mereka,
Ali adalah amirulmukminin dan mereka yang setuju untuk bertahkim telah
melanggar ajaran agama. Menurut mereka, hanya Tuhan yang berhak menentukan
hukum, bukan manusia. Oleh sebab itu, semboyan mereka adalah Id hukma ilia bi
Allah (tidak ada hukum kecuali bagi Allah). Ali dan sebagian pasukannya dinilai
telah berani membuat keputusan hukum, yaitu berunding dengan lawan. Kelompok
Khawarij menyingkir ke Harurah, sebuah desa dekat Kufah. Mereka mengangkat pemimpin
sendiri, yaitu Syibis bin Rub’it at-Tamimi sebagai panglima angkatan perang dan
Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi sebagai pemimpin keagamaan.
Di Harurah mereka
segera menyusun kekuatan untuk menggempur Ali dan orang-orang yang menyetujui
tahkim, termasuk di dalamnya Mu’awiyah, Amr bin As, dan Abu Musa al-Asy’ari.
Kegagalan Ali dalam tahkim menambah semangat mereka untuk mewujudkan maksud
mereka.
Posisi Ali menjadi
serba sulit. Di satu pihak, ia ingin menghancurkan Mu’awiyah yang semakin kuat
di Syam; di pihak lain, kekuatan Khawarij akan menjadi sangat berbahaya jika
tidak segera ditumpas. Akhirnya Ali mengambil keputusan untuk menumpas kekuatan
Khawarij terlebih dahulu, baru kemudian menyerang Syam. Tetapi tercurahnya
perhatian Ali untuk menghancurkan kelompok Khawarij dimanfaatkan Mu’awiyah
untuk merebut Mesir.
Pertempuran sengit
antara pasukan Ali dan pasukan Khawarij terjadi di Nahrawan (di sebelah timur
Baghdad) pada tahun 658, dan berakhir dengan kemenangan di pihak Ali. Kelompok
Khawarij berhasil dihancurkan, hanya sebagian kecil yang dapat meloloskan diri.
Pemimpin mereka, Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi, ikut terbunuh.
Sejak itu, kaum
Khawarij menjadi lebih radikal. Kekalahan di Nahrawan menumbuhkan dendam di
hati mereka. Secara diam-diam kaum Khawarij merencanakan untuk membunuh tiga
orang yang dianggap sebagai biang keladi perpecahan umat, yaitu Ali, Mu’awiyah,
dan Amr bin As. Pembunuhnya ditetapkan tiga orang, yaitu: Abdur Rahman bin
Muljam ditugaskan membunuh Ali di Kufah, Barak bin Abdillah at-Tamimi
ditugaskan membunuh Mu’awiyah di Syam, dan Amr bin Bakar at-Tamimi ditugaskan
pembunuh Amr bin As di Mesir. Hanya Ibnu Muljam yang berhasil menunaikan
tugasnya. Ia menusuk Ali dengan pedangnya ketika Ali akan salat subuh di Masjid
Kufah. Ali mengembuskan napas terakhir setelah memegang tampuk pimpinan sebagai
khalifah selama lebih-kurang 4 tahun.
No comments:
Post a Comment