Thursday, November 23, 2017

Founding Father Of Tauhid



IBRAHIM BAPAK TAUHID UMAT MANUSIA
oleh Ja'far Subhani

MENGAPA ADA PEMUJAAN KEPADA MAKHLUK

Faktor-faktor  yang  menimbulkan  penyembahan   manusia kepada  ciptaan  adalah  ketidaktahuannya  dan tuntutan alami yang  mutlak  dalam  dirinya  yang  pada  umumnya mempercayai adanya suatu penyebab bagi setiap fenomena. Di satu sisi, manusia, yang dikuasai oleh kodrat alami, merasa harus mencari perlindungan di suatu tempat, pada suatu pewenang kuat yang mampu menciptakan sistem  yang unik  ini.  Namun,  di  sisi  lain, ketika ia bermaksud menempuh jalan ini tanpa tuntunan  para  nabi  -pemandu Ilahi  dan  telah  ditunjuk untuk menjamin kesempurnaan perjalanan rohani manusia- ia mencari perlindungan pada makhluk-makhluk  tak-bernyawa,  hewan,  ataupun  sesama manusia  sebelum  ia  dapat  mencapai  tujuannya   yang sesungguhnya,  yakni  Tuhan  Yang  Esa, dan mendapatkan jejak-jejak-Nya dengan mengamati tanda-tanda penciptaan dan  mencari perlindungan pada-Nya. Oleh karena itu, ia membayangkan bahwa inilah  obyek  yang  dicari-carinya. Melihat  ini,  para  ilmuwan mengakui, setelah mengkaji kitab-kitab Ilahi dan cara bagaimana dakwah disampaikan kepada manusia oleh para nabi serta argumentasi mereka, bahwa  tujuan  para  nabi  bukanlah  untuk   meyakinkan manusia   tentang   adanya   pencipta   alam   semesta. Sesungguhnya,  peran   mereka   yang   mendasar   ialah membebaskan manusia dan cengkeraman syirik (politeisme) dan  penyembahan  berhala.  Dengan  kata  lain,  mereka datang  untuk  mengatakan kepada manusia, "Hai manusia! Allah  yang  kita  semua  percaya  akan  keberadaan-Nya adalah  ini, bukan itu. Ia esa, bukan berbilang. Jangan memberikan status Allah kepada makhluk. Terimalah Allah sebagai Yang Esa. Jangan menerima mitra atau sekutu apa pun bagi-Nya."
Kalimat "tiada Tuhan  selain  Allah,"  membuktikan  apa yang  kami  katakan  di  atas. Inilah titik mula dakwah Nabi  Muhammad.  Maksud  kalimat  ini  ialah,  tak  ada sesuatu  yang  patut  disembah  selain  Allah,  dan ini berarti bahwa adanya  Pencipta  telah  merupakan  fakta yang   diakui,  sehingga  manusia  dapat  diajak  untuk menerima  kemaha-esaan-Nya.  Kalimat  ini   menunjukkan bahwa di mata manusia zaman itu, bagian pertama –adanya Tuhan yang menguasai alam semesta-  bukanlah  hal  yang perlu  dipertengkarkan.  Disamping itu, kajian terhadap kisah-kisah Qur'ani dan  percakapan  para  nabi  dengan umat zamannya memperjelas masalah ini.
[Catatan   kaki:   Tetapi,  bagaimana  konsepsi  mereka tentang  berhala?  Apakah  mereka  memandangnya   patut disembah  dan  hanya  untuk  menjadi perantara, ataukah mereka berpikir bahwa berhala-berhala itu pun mempunyai kekuasaan  seperti  Allah?  Masalah  ini berada di luar bahasan kita sekarang, walaupun pandangan  pertama  itu kuat dan terbukti.]

TEMPAT KELAHIRAN NABI IBRAHIM
Jawara   Tauhid  ini  dilahirkan  di  lingkungan  gelap penyembahan berhala dan  penyembahan  manusia.  Manusia menundukkan  kerendahan hati kepada berhala yang dibuat dengan tangannya sendiri, atau kepada  bintang-bintang. Dalam   situasi  ini,  hal  yang  mengangkat  kedudukan Ibrahim dan menyukseskan usahanya adalah kesabaran  dan ketabahannya.
Tempat   kelahiran  pembawa  panji  tauhid  ini  adalah Babilon. Para sejarawan  telah  menyatakan  negeri  itu sebagai  salah  satu dari tujuh keajaiban dunia. Mereka telah mencatat banyak  riwayat  tentang  keagungan  dan kehebatan   peradaban  wilayah  itu.  Sejarawan  Yunani kenamaan, Herodotus  (483-425  SM),  menulis,  "Babilon dibangun  di  sebuah  lapangan  persegi-panjang  setiap sisinya 480 km (120 league), sehingga kelilingnya 1.920 km.    Pernyataan   ini,   betapapun  dibesar-besarkan, mengungkapkan  realitas  yang   tak   terbantah-apabila dibaca bersama tulisan-tulisan lainnya.
Namun,    dari    pemandangannya   yang   menarik   dan istana-istananya yang tinggi, tak ada lagi  yang  dapat dilihat  sekarang  selain  tumpukan  lempung, di antara sungai Tigris  dan  Efrat,  yang  diliputi  kebungkaman maut.  Kebungkaman  itu  kadang-kadang  dipecahkan oleh para  orientalis  yang   melakukan   penggalian   untuk
mendapatkan informasi tentang peradaban Babilonia.
Nabi   Ibrahim,  pelopor  tauhid,  dilahirkan  di  masa pemerintahan  Namrud  putra  Kan'an.  Walaupun   Namrud menyembah   berhala,  ia  juga  mengaku  sebagai  tuhan (dewa). Dengan memanfaatkan kejahilan rakyat yang mudah percaya, ia memaksakan kepercayaannya kepada mereka.
Mungkin  nampak  agak  ganjil  bahwa  seorang penyembah berhala mengaku pula  sebagai  dewa.  Namun,  Al-Qur'an memberikan   kepada  kita  suatu  contoh  lain  tentang kepercayaan  ini.  Ketika  Musa  mengguncang  kekuasaan Fir'aun   dengan   logikanya   yang  kuat  dan  menguak kebohongannya  dalam   suatu   pertemuan   umum,   para pendukung   Fir'aun  berkata  kepadanya,  "Apakah  kamu
membiarkan Musa dan kaumnya membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?" (QS, Surah al-A'raf,  7:127).  Telah  termasyhur  bahwa Fir'aun  mengaku  sebagai  tuhan  dan biasa menyerukan, "Aku adalah tuhanmu yang  tertinggi."  Namun  ayat  ini menunjukkan bahwa ia juga seorang penyembah berhala.
Dukungan  terbesar  yang  diperoleh  Namrud datang dari para  astrolog  dan  penenung  yang  dipandang  sebagai orang-orang  pintar di zaman itu. Ketundukan mereka ini membuka  jalan  bagi  Namrud  untuk  memanfaatkan  kaum tertindas  dan  kalangan  bodoh.  Selain  itu, sebagian famili Ibrahim, misalnya Azar yang membuat berhala  dan
juga  memahami astrologi, termasuk pengikut Namrud. Ini saja  sudah  merupakan  halangan  besar  bagi  Ibrahim, karena  di  samping  harus berjuang melawan kepercayaan umum itu, ia  juga  harus  menghadapi  perlawanan  kaum kerabatnya sendiri.
Namrud telah menerjunkan diri ke dalam laut kepercayaan takhayul. Ia telah membentangkan permadani untuk  pesta dan   minum-minum   ketika  para  astrolog  membunyikan lonceng bahaya pertama seraya mengatakan, "Pemerintahan Anda  akan  runtuh  melalui  seorang putra negeri ini." Ketakutan laten Namrud bangkit. Ia bertanya, "Apakah ia telah  lahir  atau  belum?"  Para astrolog itu menjawab bahwa ia belum lahir. Ia kemudian memerintahkan  supaya
diadakan  pemisahan  antara  perempuan dan laki-laki-di malam yang, menurut ramalan  para  astrolog,  kehamilan musuh mautnya itu akan terjadi. Walaupun demikian, para algojonya  membunuh  anak-anak  laki-laki.  Para  bidan diperintahkan    untuk   melaporkan   rincian   tentang anak-anak yang baru lahir ke suatu kantor khusus.
Pada malam itu juga terjadi kehamilan  Ibrahim.  Ibunya hamil   dan,   seperti   ibu   Musa  putra  'Imran,  ia merahasiakan  kehamilan  itu.  Setelah  melahirkan,  ia menyelamatkan  diri ke suatu gua yang terletak di dekat kota itu, untuk melindungi nyawa anaknya tersayang.  Ia meninggalkan   anaknya   di   suatu   sudut   gua,  dan mengunjunginya di waktu siang  atau  malam,  tergantung situasi.  Dengan  berlalunya waktu, Namrud merasa aman. Ia percaya bahwa musuh tahta dan pemerintahannya  telah dibunuh.
Ibrahim  menjalani  tiga belas tahun kehidupannya dalam sebuah gua dengan lorong  masuk  yang  sempit,  sebelum ibunya  membawanya  keluar.  Ketika  muncul  di  tengah masyarakat, para pendukung Namrud merasa bahwa ia orang asing.  Terhadap  hal  itu,  ibunya  berkata, "Ini anak saya. Ia lahir sebelum ramalan para astrolog."  (Tafsir al-Burhan, I, h. 535).
Ketika  keluar  dari  gua, Ibrahim memperkuat keyakinan batinnya dalam tauhid dengan mengamati bumi dan langit, bintang-bintang  yang  bersinar, dan pohon-pohonan yang hijau. Ia menyaksikan masyarakat yang aneh.  Dilihatnya sekelompok   orang  yang  memperlakukan  sinar  bintang dengan sangat tolol. Ia  juga  melihat  beberapa  orang dengan  tingkat  kecerdasan  yang  bahkan lebih rendah. Mereka membuat berhala dengan tangan sendiri,  kemudian menyembahnya.  Yang  terburuk dari semuanya ialah bahwa
seorang manusia, dengan mengambil keuntungan secara tak semestinya dari kejahilan dan kebodohan rakyat, mengaku sebagai  tuhan  mereka  dan  menyatakan  diri   sebagai pemberi  hidup  kepada semua makhluk dan penakdir semua peristiwa. Nabi Ibrahim  merasa  harus  mempersiapkan  diri  untuk memerangi tiga kelompok yang berbeda ini.

IBRAHIM BERJUANG MELAWAN PENYEMBAHAN BERHALA
Kegelapan  penyembahan  berhala  telah meliputi seluruh Babilon, tempat lahir Nabi Ibrahim, Banyak tuhan  dunia dan  langit  telah  merenggut  hak menalar dan berpikir dari berbagai lapisan masyarakat. Sebagiannya memandang tuhan-tuhan itu memiliki kekuasaan sendiri, sedang yang lainnya memperlakukan mereka  sebagai  perantara  untuk memperoleh nikmat dari Tuhan Yang Mahakuasa.  

RAHASIA POLITEISME
Orang Arab sebelum datangnya Islam percaya bahwa setiap makhluk dan setiap gejala tentulah  mempunyai  penyebab tersendiri,  dan  bahwa  Tuhan  Yang  Esa  tidak  mampu menciptakan semuanya. Pada masa itu,  ilmu  pengetahuan memang  belum  menemukan  hubungan  antara  makhluk dan fenomena  alami  serta   berbagai   kejadian.   Sebagai akibatnya,  orang-orang  itu  mengkhayalkan bahwa semua mahluk   dan   berbagai    fenomena    alami    berdiri sendiri-sendiri  dan  tidak  ada kaitan satu sama lain. Karena  itu,  mereka  menganggap  bahwa  untuk   setiap fenomena  seperti  hujan  dan  salju,  gempa  bumi  dan kematian,  paceklik  dan  kesukaran,   perdamaian   dan ketentraman,   kekejaman  dan  pertumpahan  darah,  dan sebagainya,  ada  tuhannya  masing-masing.  Mereka  tak menyadari  bahwa  seluruh  alam  semesta  adalah  suatu kesatuan,  di  mana  bagiannya   saling   terkait   dan masing-masingnya mempunyai efek timbal balik.  
Pikiran  bersahaja  manusia  masa  itu belum mengetahui rahasia penyembahan kepada Allah  Yang  Esa  dan  tidak menyadari  bahwa  Allah  yang  menguasai  alam  semesta adalah Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahatahu, Pencipta yang bebas  dari  segala  kelemahan  dan  cacat.  Kekuasaan, kesempurnaan, pengetahuan, dan  kebijaksanaanNya  tiada berbatas.  Ia  di  atas segala sesuatu yang dianggapkan kepada-Nya. Tak ada kesempurnaan yang tidak Ia  miliki.
Tak  ada  kemungkinan yang tak dapat diciptakan-Nya. Ia adalah Allah Yang Esa  yang  mampu  menciptakan  segala makhluk  dan  fenomena tanpa bantuan dan dukungan siapa pun. Ia dapat menciptakan makhluk lain dengan cara yang sama  sebagaimana  Ia  menciptakan makhluk-makhluk yang ada sekarang.
Karena itu, secara nalar, adanya perantaraan dari suatu wewenang  yang  dapat  mengurangi  kemandirian kehendak Allah  yang  tidak  bersekutu,  tidak  dapat  diterima. Kepercayaan  bahwa alam semesta mempunyai dua pencipta, yang satu merupakan sumber kebaikan dan  cahaya  sedang yang   satu   lagi   merupakan   sumber  kejahatan  dan kegelapan, juga tak dapat diterima.  Kepercayaan  bahwa ada  perantaraan  oleh  seseorang,  seperti  Maryam dan 'Isa, dalam hal penciptaan  alam  semesta,  atau  bahwa pengaturan  tatanan  dunia  fisik telah dikuasakan pada seorang  manusia,  merupakan  manifestasi  syirik   dan kelebih-lebihan.  Penganut  tauhid,  dengan rasa hormat yang  sewajarnya  kepada  para  nabi  dan  orang  suci, memelihara  keyakinan  pada  Pencipta Alam Semesta, dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain.  
Metode yang digunakan para nabi untuk memberi pelajaran dan  tuntutan  kepada  manusia  ialah metode logika dan penalaran,  karena  mereka  berurusan  dengan   pikiran manusia.  Mereka berhasrat mendirikan pemerintahan yang didasarkan pada keimanan,  pengetahuan,  dan  keadilan, dan   pemerintahan  semacam  itu  tak  dapat  didirikan melalui kekerasan, peperangan, dan  pertumpahan  darah. Oleh  karena  itu,  kita  harus membedakan pemerintahan para  nabi  dengan  pemerintahan  Fir'aun  dan  Namrud. Tujuan  dari  kelompok  yang  kedua  ini  ialah amannya kekuasaan dan pemerintahan mereka  dengan  segala  cara yang  mungkin,  sekalipun  negara  akan  runtuh setelah mereka mati.  Sebaliknya,  orang-orang  suci  bermaksud mendirikan  pemerintahan  yang  membawa  maslahat  pada individu maupun masyarakat, baik penguasa itu kuat atau lemah  pada  suatu  waktu  tertentu, sementara ia hidup maupun sesudah ia mati. Tujuan semacam itu  tentu  saja tak dapat dicapai dengan kekerasan dan tekanan.
Ibrahim  pertama-tama berjuang melawan kepercayaan kaum  kerabatnya  yang  menyembah  berhala,  di   mana   Azar merupakan  pentolannya.  Sebelum  mencapai keberhasilan penuh dalam bidang ini, ia sudah  harus  berjuang  pada bidang  operasi  lainnya. Taraf pemikiran kelompok yang kedua ini agak lebih tinggi dan lebih jelas  dari  yang pertama.  Berlawanan  dengan agama para famili Ibrahim, mereka ini telah membuang makhluk-makhluk duniawi  yang hina  dan  tak berharga, lalu memuja bintang di langit. Ketika melawan  pemujaan  bintang,  Ibrahim  menyatakan dengan kata-kata sederhana sejumlah kebenaran filosofis dan ilmiah yang belum dipahami oleh  manusia  di  zaman itu,   bahkan   sekarang   pun  argumennya  menimbulkan kekaguman para sarjana yang sangat mengenal seni logika dan perdebatan. Di atas semua ini, Al-Qur'an juga telah mengutip argumen-argumen  Ibrahim,  dan  kami  mendapat kehormatan untuk mengutipnya dengan penjelasan singkat.  
Untuk dapat menuntun masyarakatnya, suatu malam Ibrahim  menatap ke langit  di  saat  terbenamnya  matahari  dan terus   terjaga   hingga   ia  terbenam  lagi  di  hari berikutnya.  Selama  24  jam  ini   ia   berdebat   dan berdiskusi   dengan   tiga  kelompok,  dan  menyalahkan
kepercayaan mereka dengan argumen-argumennya yang kuat.  
Kegelapan  malam  mendekat  dan  menyembunyikan  segala tanda  kehidupan.  Bintang  Venus yang cemerlang muncul dari suatu sudut cakrawala.  Untuk  merebut  hati  para pemuja  Venus,  Ibrahim menyesuaikan diri dengan mereka dan mengikuti garis pikiran mereka  seraya  mengatakan, "Itu  adalah  pemeliharaku."  Namun, ketika bintang itu tenggelam dan menghilang di suatu  sudut,  ia  berkata, "Saya  tak dapat menerima tuhan yang tenggelam." Dengan penalarannya yang alami, ia  menolak  kepercayaan  para pemuja Venus dan membuktikan kebatilannya.  
Pada  tahap  berikutnya,  matanya tertuju pada bundaran bulan yang bercahaya terang  dengan  keindahannya  yang memukau.  Dengan  maksud  merebut  hati  pemuja  bulan, secara lahiriah ia bersikap  seakan  bulan  itu  tuhan, tapi  kemudian  ia  merontokkan  kepercayaan itu dengan logikanya yang kuat. Demikianlah, ketika Yang Mahakuasa membenamkan  bulan  itu  di balik cakrawala, dan cahaya
serta keindahannya lenyap dari muka  bumi,  maka  tanpa menyinggung  perasaan  para  pemuja  bulan itu, Ibrahim berkata,  "Apabila  Tuhanku  yang  sesungguhnya   tidak membimbing aku, tentulah aku tersesat, karena tuhan ini terbenam seperti bintang dan tunduk pada suatu  tatanan dan  sistem  yang pasti yang dibentuk oleh sesuatu yang lain."
Kegelapan  malam  berakhir  dan  matahari  pun  muncul,  membuka cakrawala, dan menyebarkan sinar keemasannya ke muka  bumi.  Para  pemuja  matahari  memalingkan  wajah mereka    kepada   tuhannya.   Untuk   menaati   aturan perdebatan,  Ibrahim  juga  bersikap  seolah   mengakui ketuhanan   matahari.   Namun,   terbenamnya   matahari mengukuhkan bahwa ia  tunduk  pada  suatu  sistem  alam semesta   yang   umum,   dan   Ibrahim  secara  terbuka menolaknya  sebagai  yang  patut  disembah.(lihat   QS,al-An'am, 6:75-79)
Tak  diragukan  bahwa  saat  tinggal  di  gua,  melalui anugerah Ilahi yang  luar  biasa,  Ibrahim  mendapatkan dari sumber yang gaib pengetahuan batin tentang tauhid, yang merupakan kekhususan  para  nabi.  Namun,  setelah memperhatikan  dan mengkaji benda-benda langit, ia juga memberikan bentuk  argumentasi  pada  pengetahuan  itu. Dengan  demikian,  di  samping  menunjukkan  jalan  yang benar  kepada  manusia  dan  memberikan  kepada  mereka
sarana    bimbingan,    Ibrahim    telah   meninggalkan pengetahuan yang  tak  ternilai  untuk  digunakan  oleh orang-orang yang mencan kebenaran dan realitas.  

PENJELASAN LOGIKA IBRAHIM
Ibrahim  sangat  menyadari  bahwa  Allah menguasai alam semesta, tetapi  pertanyaannya  adalah:  Apakah  sumber kekuatan  itu terdiri dari benda-benda langit ini, atau suatu  Wujud  Yang   Mahakuasa,   yang   lebih   tinggi daripadanya?  Setelah  mengkaji  kondisi-kondisi  benda yang  berubah-ubah  ini,  Ibrahim   mendapatkan   bahwa wujud-wujud  yang cerah dan bersinar itu sendiri tunduk pada ketetapan -terbit, terbenam, dan  lenyap-  menurut sistem  tertentu dan berotasi pada suatu jalan yang tak berubah-ubah. Ini membuktikan bahwa mereka tunduk  pada kehendak  dari  sesuatu  yang lain; suatu kekuatan yang lebih  besar  dan  lebih  kuat  mengontrol  mereka  dan membuat   mereka   berotasi   pada   orbit  yang  telah ditentukan.
Marilah kita  bahas  masalah  ini  lebih  lanjut.  Alam semesta   sepenuhnya   memiliki  "peluang-peluang"  dan "kebutuhan-kebutuhan." Berbagai  makhluk  dan  fenomena alami  tak  pernah  lepas  dari  Yang Mahakuasa. Mereka membutuhkan Tuhan Yang  Mahatahu  dalam  setiap  detik, siang  dan  malam  - Tuhan yang tidak pernah lalai akan kebutuhan mereka.  Benda-benda  langit  itu  hadir  dan diperlukan  pada  suatu  saat  dan  tak hadir serta tak berguna pada saat  lainnya.  Wujud  seperti  itu  tidak mempunyai kemampuan yang diperlukan untuk menjadi tuhan dan  wujud  lainnya,  untuk  memenuhi   kebutuhan   dan keperluan mereka
Teori   ini   dapat  diperluas  dalam  bentuk  berbagai pernyataan  teoritis  dan  filosofis.  Misalnya,   kita mungkin mengatakan: Benda-benda langit ini bergerak dan berputar   pada   sumbunya    masing-masing.    Apabila gerakannya   itu   tanpa   pilihan   dan  atas  paksaan semata-mata, tentulah ada tangan yang lebih  kuat  yang mengendalikannya.   Apabila  gerakannya  sesuai  dengan kehendaknya sendiri,  haruslah  dilihat  apakah  tujuan dari   gerakan   itu.  Apabila  mereka  bergerak  untuk mencapai kesempurnaan, seperti benih yang bangkit  dari bumi  untuk  tumbuh menjadi pohon dan berbuah, maka itu berarti mereka memerlukan suatu wujud yang  independen, kuasa,    dan   bijaksana   yang   akan   menyingkirkan kekurangan-kekurangan mereka dan menganugerahkan kepada mereka  sifat  kesempurnaan. Apabila gerakan dan rotasi mereka  menuju  kepada  kelemahan  dan  kekurangan,  dan halnya  seperti  orang yang melewati usia puncaknya dan memasuki  sisi  usia  yang  salah,  maka  itu   berarti gerakannya  cenderung kepada kemunduran dan kehancuran, dan dengan demikian tidak sesuai dengan posisi  sebagai tuhan yang akan menguasai dunia dan segala isinya.  

METODE DISKUSI DAN DEBAT PARA NABI
Sejarah  para  nabi  menunjukkan  bahwa  mereka memulai program  reformasi  dengan  mengundang   para   anggota keluarga  mereka  kepada  jalan  yang  benar,  kemudian mereka memperluas dakwah itu  kepada  orang  lain.  Ini pulalah  yang  dilakukan  Nabi  Muhammad segera setelah beliau  ditunjuk  sebagai  nabi.  Pertama-tama   beliau mengajak  kaumnya  sendiri kepada Islam, dan meletakkan fundasi dakwahnya pada reformasi mereka, sesuai  dengan
perintah   Allah,   "Dan   berilah   peringatan  kepada kerabat-kerabatmu yang  terdekat."  (QS,  asy-Syu'ara', 26:2l3)
Ibrahim  juga  mengambil  metode  yang  sama. Mula-mula beliau  berusaha  mereformasi  kaum  kerabatnya.   Azar menduduki   posisi   yang  sangat  tinggi  di  kalangan familinya,  karena,  selain  terpelajar   dan   seorang seniman,  ia  juga  ahli  astrologi.  Di istana Namrud, kata-katanya       sangat       berpengaruh,        dan kesimpulan - kesimpulan   astrologinya   diterima   semua penghuni istana.
Ibrahim sadar bahwa apabila ia herhasil meraih Azar  ke pihaknya maka ia akan merebut benteng terkuat dari para penyembah berhala. Oleh karena  itu,  ia  menasihatinya dengan  cara  sebaik  mungkin  supaya  tidak  mcnyembah benda-benda mati. Tetapi, karena beberapa alasan,  Azar tidak  menerima  ajakan  dan  nasihat  Ibrahim.  Namun,
sejauh berhubungan dengan kita,  hal  terpenting  dalam episode  ini  ialah metode dakwah dan bentuk percakapan Ibrahim dengan Azar. Lewat kajian mendalam  dan  cermat terhadap  ayat-ayat  Al-Qur'an  yang merekam percakapan ini, metode argumen dan dakwah yang ditempuh para  nabi itu  menjadi  amat  sangat  jelas.  Marilah  kita lihat bagaimana  Ibrahim  mengajak  Azar  kepada  jalan  yang benar:
"Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, 'Wahai ayahku,  mengapa  kamu  menyembah  sesuatu  yang  tidak mendengar;  tidak  melihat,  dan  tidak  menolong  kamu sedikitpun. Wahai  ayahku,  sesungguhnya  telah  datang kepadaku  sebagian  ilmu  pengetahuan yang tidak datang kepadamu,  maka  ikutilah   aku,   niscaya   aku   akan menunjukkan  kepadamu  jalan  yang lurus. Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya  syaitan itu  durhaka  kepada  Tuhan  Yang  Maha  Pemurah. Wahai ayahku,  sesungguhnya  aku  khawatir  bahwa  kamu  akan ditimpa  azab  dan  Tuhan  Yang  Maha Pemurah, sehingga jadilah kamu kawan syaitan.'" (QS, Maryam, 19:42-45)
Sebagai jawaban  atas  ajakan  Ibrahim,  Azar  berkata,  "Beranikah   engkau   menyangkal   tuhan-tuhanku,   hai Ibrahim? Bertobatlah dari ketololan itu!  Kalau  tidak, engkau  akan dirajam sampai mati. Keluarlah segera dari rumahku!"
Ibrahim yang murah hati menerima kata-kata  kasar  Azar ini  dengan ketenangan sempurna seraya menjawab, "Salam atasmu.  Aku  akan   memohon   kepada   Tuhanku   untuk mengampunimu."
Adakah  jawaban yang lebih pantas dan ucapan yang lebih patut daripada kata-kata Ibrahim ini?

APAKAH AZAR AYAH IBRAHIM?

Ayat-ayat yang dikutip di atas, maupun ayat (15)  surah at-Taubah  dan (14) surah al-Mumtahanah, seakan memberi kesan hubungan Azar dengan  Ibrahim  sebagai  ayah  dan anak.  Namun,  perlu  diinformasikan di sini bahwa dari perspektif Syi'ah, penyembah berhala Azar sebagai  ayah Ibrahim  tidaklah  sesuai  dengan  konsensus para ulama mereka yang percaya bahwa nenek  moyang  Nabi  Muhammad
maupun semua nabi lainnya adalah orang-orang takwa yang beriman  tauhid.  Ulama  besar  Syi'ah,  Syekh   Mufid, memandang anggapan ini sebagai salah satu pendapat yang disepakati seluruh  ulama  Syi'ah  dan  sejumlah  besar ulama  Sunni  (lihat  Awa'il al-Malaqat, hal. 12). Oleh karena  itu,  timbul  pertanyaan:  Apakah  sesungguhnya maksud  ayat-ayat  yang nampak jelas itu, dan bagaimana masalah ini harus dipecahkan?  
Banyak mufasir Al-Qur'an menegaskan bahwa walaupun kata ab  dalam  bahasa  Arab  biasanya  digunakan dalam arti  "ayah," kadang-kadang kata  itu  juga  digunakan  dalam leksikon  Arab  dan  terminologi  Al-Qur'an  dalam arti "paman." Dalam ayat berikut, misalnya, kata ab  berarti "paman"
"Adakah    kamu    hadir   ketika   Ya'qub   kedatangan [tanda-tanda]   maut,   ketika   ia   berkata    kepada anak-anaknya,  'Apa  yang  kamu  sembah sepeninggalku?' Mereka menjawab, 'Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan ab-Smu,  [yakni]  Ibrahim,  Isma'il, dan Ishaq, [yaitu] Tuhan Yang  Maha  Esa,  dan  kami  hanya  tunduk  patuh kepada-Nya." (QS, al-Baqarah, 2:133)
Tiada keraguan bahwa Isma'il adalah paman Ya'qub, bukan ayahnya, karena Ya'qub adalah putra Ishaq yang  saudara Isma'il.    Walaupun   demikian,   putra-putra   Ya'qub memanggilnya "ayah Ya'qub" yakni ab Ya'qub. Karena kata ini  mengandung  dua  makna,  maka  pada ayat-ayat yang berhubungan dengan diajaknya Azar ke jalan  yang  benar oleh Ibrahim, boleh jadi yang dimaksud dengannya adalah "paman."  Dan  boleh  jadi  pula  Ibrahim  memanggilnya "ayah,"  karena ia telah bertindak sebagai wali baginya dalam waktu  yang  panjang,  dan  Ibrahim  memandangnya sebagai ayahnya.

AZAR DALAM AL-QUR'AN
Dengan  maksud  untuk  mendapatkan  keputusan Al-Qur'an tentang hubungan Ibrahim dengan Azar, kami merasa perlu mengundang perhatian pembaca pada keterangan dua ayat:  
1. Sebagai akibat usaha keras Nabi, Arabia disinari cahaya Islam. Kebanyakan rakyat memeluk agama ini dengan sepenuh hati, dan menyadari bahwa syirik dan pemujaan berhala akan berakhir di neraka. Walaupun mereka bahagia karena telah memasuki agama yang benar, mereka merasa sedih mengingat nenek moyang mereka yang penyembah berhala. Mendengar ayat-ayat yang menggambarkan nasib kaum musyrik di Hari Pengadilan, terasa berat bagi mereka. Untuk menjauhkan siksaan mental ini, mereka memohon kepada Nabi untuk berdoa kepada Allah bagi keampunan nenek moyang mereka yang telah mati sebagai orang kafir, sama sebagaimana Ibrahim berdoa bagi Azar. Namun, ayat berikut diwahyukan sebagai jawaban atas permohonan mereka:
 "Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang musyrik, walaupun orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. Permintaan ampun dari Ibrahim kepada Allah untuk ayahnya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada ayahnya itu. Tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa ayahnya itu adalah musuh Allah, Ibrahim pun berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya bagi penyantun." (QS, at-Taubah, 9:113-114)
Akan nampak lebih masuk akal apabila percakapan  Ibrahim dengan Azar, dan janjinya kepada Azar untuk mendoakan bagi keampunannya, yang berakhir dengan putusnya hubungan serta perpisahan mereka, terjadi ketika Ibrahim masih muda, yakni ketika ia masih tinggal di Babilon dan belum berniat ke Palestina, Mesir, dan Hijaz. Setelah mengkaji ayat ini, dapat disimpulkan bahwa Azar bersikeras pada kekafiran dan penyembahan berhalanya, dan Ibrahim, yang masih muda, memutuskan hubungannya dengan Azar dan tak pernah memikirkannya lagi sesudah itu.
2. Di bagian terakhir masa hidupnya, yakni ketika ia telah lanjut usia, setelah melaksanakan sebagian besar tugasnya (yakni pembangunan Ka'bah) dan membawa istri dan anaknya ke gurun kering Mekah, ia berdoa dari lubuk hatinya bagi sejumlah orang, termasuk kedua orang
tuanya, dan memohon agar doanya dikabulkan Allah. Pada waktu itu beliau berdoa, "Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)." (QS, Ibrahim 14:41)
Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa doa itu diucapkan setelah selesainya pembangunan Ka'bah, ketika Ibrahim sudah berada di usia tuanya. Apabila sang ayah dalam ayat ini, yang kepadanya telah ia persembahkan cinta dan bakti dan yang didoakannya, adalah Azar itu,
maka ini akan berarti bahwa Ibrahim tidak berlepas diri darinya sepanjang hidupnya, dan terkadang beliau juga berdoa untuknya. Padahal, ayat pertama, yang diwahyukan sebagai jawaban atas permohonan para keturunan musyrikin itu, menjelaskan bahwa setelah suatu waktu, ketika ia masih muda, Ibrahim telah memutuskan segala hubungan dengan Azar dan menjauh darinya – berlepas diri berarti tidak lagi saling berbicara, tidak peduli, dan tidak saling mendoakan keselamatan.  
Ketika dua ayat ini dibaca bersama-sama, terlihat jelas bahwa  orang yang dibenci Ibrahim di usia mudanya, yang dengannya ia memutuskan segala hubungan kepentingan dan cinta,  bukanlah  orang  yang  diingatnya  hingga  usia tuanya, yang  untuk  keampunan  dan  keselamatannya  ia berdoa (lihat Majma' al-Bayan, III, hal. 319; al-Mizan, VII, 170).

IBRAHIM, SI PENGHANCUR BERHALA
Saat perayaan mendekat, penduduk Babilon  berangkat  ke hutan untuk melepaskan lelah, memulihkan tenaga mereka, dan melaksanakan upacara  perayaan  itu.  Kota  menjadi sepi.  Perbuatan  Ibrahim, celaan dan kecamannya, telah mencemaskan mereka. Karena itu, mereka mendesak Ibrahim untuk pergi bersama mereka dan ikut serta dalam upacara perayaan.  Namun,  usul  dan  desakan   mereka   datang
Bertepatan dengan sakitnya Ibrahim. Karena itu, sebagai jawabannya, Ibrahim mengatakan  sedang  sakit  dan  tak akan menyertai upacara perayaan itu.  
Sesungguhnya,  itulah  hari  gembira  bagi  sang  tokoh tauhid, sebagaimana bagi para musyrik  itu.  Bagi  kaum musyrik,  itu  adalah  pesta  perayaan yang sangat tua. Mereka pergi ke kaki gunung di lapangan-lapangan  hijau untuk  melaksanakan  upacara  perayaan dan menghidupkan adat kebiasaan nenek  moyang  mereka.  Bagi  si  jawara tauhid,  hari itu pun merupakan hari raya besar pertama yang  telah  lama  dirindukannya,  untuk  menghancurkan manifestasi  kekafiran  dan  kemusyrikan,  ketika  kota sedang bersih dan lawan-lawannya.  
Ketika "keloter" terakhir penduduk  meninggalkan  kota, Ibrahim  merasa bahwa saat itulah kesempatannya. Dengan hati penuh keyakinan  dan  iman  kepada  Allah,  beliau memasuki  rumah  berhala.  Di dalamnya beliau menemukan penggalan-penggalan kayu berpahat, berhala-berhala yang tak  bernyawa.  Ia  ingat  akan  banyaknya makanan yang biasa dibawa oleh para penyembah berhala ke kuil mereka sebagai   sajian  untuk  beroleh  rahmat.  Beliau  lalu mengambil  sepiring  roti  yang  ada  di  situ.  Sambil mengunjukkannya   kepada  berhala-berhala  itu,  beliau berkata mengejek,  "Mengapa  tidak  kamu  makan  segala macam  makanan ini?" Tentulah tuhan buatan kaum musyrik itu tak mampu bergerak  sedikit  pun,  apalagi  memakan sesuatu. Keheningan membisu menguasai kuil berhala yang
luas itu,  yang  hanya  terpecah  oleh  pukulan-pukulan keras    Ibrahim   pada   tangan,   kaki,   dan   tubuh berhala-berhala itu.  Ia  menghancurkan  semua  berhala itu,  hingga menjadi tumpukan puing kayu dan logam yang berhamburan di tengah kuil itu. Tetapi,  ia  membiarkan berhala  yang  paling  besar,  lalu meletakkan kapak di bahunya. Ini dilakukannya dengan sengaja. Ia tahu bahwa ketika  kembali  dari hutan, kaum musyrik akan memahami kedudukan sesungguhnya dan akan memandang situasi  yang nampak itu sebagai sengaja dibuat-buat, karena tak akan   mungkin    mereka    percaya     bahwa     penghancuran berhala-berhala  lain  itu telah dilakukan oleh berhala besar yang sama sekali tak berdaya untuk bergerak  atau melakukan  sesuatu.  Pada  saat  itu,  beliau  pun akan menggunakan situasi itu untuk  dakwah.  Mereka  sendiri akan  mengaku  bahwa  berhala  itu  sama  sekali  tidak mempunyai kekuatan.  Maka  bagaimana  mungkin  ia  akan menjadi penguasa dunia?
Matahari  bergerak  turun  di  cakrawala.  Orang  mulai pulang  berkelompok-kelompok  ke  kota.   Waktu   untuk melaksanakan  upacara  pemujaan  berhala  pun tiba, dan sekelompok penyembah berhala memasuki kuil. Pemandangan yang   tak   terduga,  yang  dengan  jelas  menunjukkan nistanya    dan    rendahnya    tuhan-tuhan     mereka, menghentakkan   mereka   semua.   Hening  seperti  maut meliputi kuil itu. Setiap orang gelisah. Tetapi,  salah seorang  di  antara  mereka memecahkan kesunyian dengan berkata, "Siapa yang telah  melakukan  kejahatan  ini?" Kutukan  terhadap  berhala  oleh Ibrahim di waktu lalu, dan kecamannya yang terang-terangan  terhadap  pemujaan berhala,  meyakinkan  mereka  bahwa  hanya  dialah yang
mungkin melakukan  semua  itu.  Sidang  pengadilan  pun diadakan  di  bawah  pengawasan  Namrud,  dan si remaja Ibrahim serta ibunya dibawa ke pengadilan.  
Si ibu dituduh  menyembunyikan  kelahiran  anaknya  dan tidak melaporkannya ke kantor khusus pemerintahan untuk dibunuh. Ia memberikan jawaban atas tuduhan itu,  "Saya menyimpulkan  bahwa  sebagai  akibat keputusan terakhir pemerintah  waktu  itu  -yakni  pembunuhan   anak-anak- manusia  di  negara  ini sedang dimusnahkan. Saya tidak memberitahukan kepada kantor pemerintah  tentang  putra saya,  karena  saya hendak melihat bagaimana ia maju di masa depan. Apabila ia membuktikan diri  sebagai  orang yang  telah  diramalkan  para pendeta peramal itu, akan ada alasan bagi saya untuk melaporkannya kepada  polisi agar  mereka  tidak  lagi  menumpahkan  darah anak-anak lain. Dan apabila ia ternyata  bukan  orang  itu,  maka
saya  telah  menyelamatkan  seorang  muda di negara ini dari pembunuhan." Argumen ibu itu sangat memuaskan para hakim.
Sekarang  Ibrahim diperiksa. "Keadaan menunjukkan bahwa berhala besar telah melakukan semua  pukulan  itu.  Dan apabila  berhala  itu  dapat  berkata,  sebaiknya  Anda tanyakan  kepadanya."  Jawaban   bernada   ejekan   dan penghinaan ini dimaksudkan untuk mencapai sasaran lain. Ibrahim  yakin  bahwa  orang-orang  itu  akan  berkata, "Ibrahim!  Engkau tahu sepenuhnya bahwa berhala-berhala
itu tak dapat berbicara.  Mereka  pun  tidak  mempunyai kehendak  atau  akal."  Dalam  hal  itu,  Ibrahim dapat meminta perhatian sidang pengadilan  tentang  satu  hal yang  mendasar. Kebetulan, apa yang terjadi sama dengan yang  diharapkannya.   Sehubungan   dengan   pernyataan orang-orang  itu  yang membuktikan kelemahan, kehinaan,
dan  tidak  berdayanya  berhala-berhala  itu,   Ibrahim berkata,  "Apabila mereka memang demikian, mengapa kamu menyembah dan berdoa kepada  mereka  untuk  mengabulkan permohonan kamu?"
Kejahilan, keras kepala, dan peniruan membuta menguasai hati dan pikiran para hakim. Terhadap  jawaban  Ibrahim yang  tak  terbantah  itu, mereka tidak beroleh pilihan lain kecuali memberikan keputusan  yang  sesuai  dengan keinginan  pemerintah  masa  itu. Ibrahim harus dibakar hidup-hidup.
Setumpukan besar  kayu  bakar  dinyalakan,  dan  jawara tauhid  itu  dilemparkan  ke  dalam  api yang berkobar. Namun, Allah Yang Mahkuasa mengulurkan tangan kasih dan rahmat-Nya  kepada  Ibrahim  dan  menjadikanNya  kebal. Allah mengubah neraka buatan manusia itu menjadi  taman hijau yang sejuk.

PELAJARAN DARI RIWAYAT IBRAHIM
Walaupun  orang  Yahudi mengaku sebagai pelopor kafilah penganut tauhid, riwayat ini tak  masyhur  di  kalangan mereka  dan  tidak beroleh tempat dalam Taurat yang ada sekarang. Di antara kitab-kitab Ilahi, hanya  Al-Qur'an yang  telah  meriwayatkannya.  Oleh  karena  itu,  kami sebutkan di bawah ini beberapa  pokok  yang  mengandung pelajaran bagi manusia, suatu hal yang memang merupakan tujuan  pokok  Al-Qur'an  ketika  meriwayatkan  sejarah berbagai nabi.
1. Riwayat ini merupakan bukti yang jelas tentang keberanian dan keperkasaan yang luar biasa dari kekasih Allah (Ibrahim) ini. Tekadnya untuk menghancurkan manifestasi dan sarana kemusyrikan tak dapat disembunyikan dari rakyat Namrud. Dengan celaan dan kecamannya, beliau telah menyatakan perlawanan dan kebenciannya yang luar biasa terhadap penyembahan berhala secara sangat nyata. Beliau mengatakan secara terbuka dan jelas, "Apabila kamu tidak berhenti dari praktek yang memalukan itu, aku akan membuat keputusan tentang mereka." Dan pada hari kepergian orang-orang ke hutan, beliau berkata secara terang-terangan, "Demi Tuhan, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya." (QS, al-Anbiya', 21:57)
'Allamah Majlisi mengutip dari Imam Ja'far ash-Shadiq, "Gerakan dan perjuangan satu orang melawan ribuan orang musyrik merupakan bukti nyata akan keberanian dan kesabaran Ibrahim, yang tidak mengkhawatirkan jiwanya dalam mengangkat asma Allah dan memperkuat dasar penyembahan kepada Tuhan yang Esa."(lihat Bihar al-Anwar, V, hal. 130).
2. Sepintas nampak seakan penghancuran berhala oleh Ibrahim merupakan pemberontakan bersenjata dan permusuhan, tetapi dari percakapannya dengan para hakim, terbukti bahwa gerakan ini sebenarnya mempunyai aspek dakwah. Karena, beliau memandang bahwa sebagai sarana terakhir untuk membangunkan kebijaksanaan dan kesadaran hati nurani manusia, beliau harus menghancurkan berhala-berhala itu, kecuali berhala yang besar, dan meletakkan kapak di bahunya, supaya mereka dapat mengadakan penyelidikan lebih jauh tentang sebab-sebab insiden itu. Dan, sebagai ternyata pada akhirnya, mereka hanya akan menganggap pandangan itu sebagai ejekan, dan sama sekali tak akan percaya kalau penghancuran itu dilakukan oleh berhala besar itu. Dengan demikian, beliau dapat menggunakan hal itu untuk mendakwahkan pendapatnya dengan mengatakan, "Menurut pengakuan kalian sendiri, berhala besar itu tidak mempunyai kekuasaan sedikit pun, lalu mengapa kalian menyembahnya?" Ini menunjukkan bahwa sejak awal mula, para nabi hanya menggunakan logika dan argumen sebagai senjata mereka yang ampuh, dan itu senantiasa membawa hasil. Kalau tidak, maka apa artinya penghancuran berhala ketimbang bahaya bagi nyawa Ibrahim? Tindakan ini tentulah mengandung makna besar bagi misinya, dari
sisi pandang alasan penalaran, sehingga beliau sedia mengorbankan nyawanya untuk itu.  
3. Ibrahim sadar bahwa sebagai akibat tindakannya, hidupnya akan berakhir. Karenanya, menurut anggapan umum, ia mestinya akan terguncang, menyembunyikan diri, atau sekurang-kurangnya berjanji akan berhenti membuat "lelucon." Tetapi, ia sepenuhnya menguasai semangat dan emosinya. Misalnya, ketika memasuki kuil berhala, ia
mendekati setiap berhala dan menawarkan mereka makan, secara olok-olok. Setelah ternyata sia-sia, beliau menjadikan isi kuil berhala itu onggokan penggalan kayu, dan menganggap semua itu sebagai sesuatu yang benar-benar biasa saja, seakan-akan hal itu tidak akan
disusul oleh kematiannya sendiri. Ketika muncul di pengadilan, beliau menjawab pertanyaan mereka, "Sesungguhnya seseorang telah melakukannya. Pemimpinnya ialah yang ini. Karena itu, tanyakanlah kepadanya jika ia dapat berbicara." Lelucon demikian di hadapan pengadilan hanya dapat muncul dari seseorang yang siap sedia menghadapi segala kesudahan tanpa rasa takut atau ngeri dalam hatinya.
Bahkan, yang lebih menakjubkan lagi ialah sikap Ibrahim pada saat ia ditempatkan pada pelontar, dan mengetahui dengan pasti bahwa ia segera akan berada di tengah api -yang kayu bakarnya tadinya dikumpulkan orang Babilon untuk melaksanakan upacara suci keagamaan, dan yang nyalanya membubung dengan dahsyat sehingga bahkan burung rajawali tak berani terbang di atasnya. Pada saat itu, Malaikat Jibril turun dan langit seraya menyatakan kesediaannya untuk memberikan segala pertolongan kepada Ibrahim. Jibril berkata, "Apa keinginanmu?" Ibrahim menjawab, "Aku mempunyai hasrat. Tetapi aku tak dapat memberitahukannya kecuali kepada Tuhanku." (lihat Al-'Uyun, hal. 136; al-Amali, oleh Shaduq, hal. 274; Bihar al-Anwar, hal. 35). Jawaban ini jelas menunjukkan keluhuran dan kebesaran rohani Ibrahim.
Namrud menanti dengan cemas dan gelisah karena  dendam kesumatnya kepada Ibrahim. Ia begitu ingin melihat bagaimana api menelannya. Pelontar disiapkan. Dengan satu sentakan, tubuh Ibrahim, si jawara tauhid Ilahi, terlempar ke api. Namun, kehendak Tuhan Ibrahim mengubah neraka buatan itu menjadi taman dengan cara yang amat mengejutkan mereka, sehingga Namrud tanpa sengaja berpaling kepada Azar dan berkata, "Tuhan Ibrahim mencintainya." (Tafsir al-Burhan, III, hal. 64).
Walaupun adanya kejadian itu, Ibrahim tak dapat mendakwahkan agamanya dengan kebebasan penuh. Akhirnya, pemerintah waktu itu memutuskan, setelah bermusyawarah, untuk membuang Ibrahim. Ini membuka suatu bab baru dalam kehidupan Ibrahim dan menjadi awal perjalanannya ke Suriah, Palestina, Mesir, dan Hijaz. 

BAB BARU DALAM KEHIDUPAN IBRAHIM
Pengadilan di  Babilonia  memutuskan  membuang  Ibrahim dari   negeri   itu.  Beliau  pun  meninggalkan  tempat kelahirannya,  lalu  pergi  ke  Mesir  dan   Palestina. Amaliqa,    yang    menguasai    wilayah-wilayah   itu, menyambutnya dengan  hangat  dan  memberikan  kepadanya banyak  hadiah,  satu di antaranya adalah seorang budak perempuan bernama Hajar.
Istri Ibrahim, Sarah, belum melahirkan anak hingga saat  itu.  Oleh  karena  itu,  ia menyarankan Ibrahim supaya kawin  dengan  Hajar,  dengan  harapan  kiranya  beliau diberkati  seorang  putra,  yang  akan  menjadi  sumber kebahagiaan   dan   kesenangan    mereka.    Perkawinan dilangsungkan,  dan  Hajar  kemudian melahirkan seorangputra  yang  diberi  nama  Ismai'l.  Itu  terjadi  jauh sebelum  Sarah  hamil dan melahirkan seorang putra yang diberi nama Ishaq. (Lihat Sa'd  as-Su'ud,  hal.  41-42;Bihar al-Anwar, hal. 118).
Setelah   beberapa   waktu,  sebagaimana  diperintahkan Allah, Ibrahim membawa Isma'il  dan  ibunya,  Hajar  ke selatan (Mekah), dan menempatkan mereka di suatu lembah yang tak dikenal. Lembah ini tak berpenghuni, dan hanya kafilah   dari  Sunah  ke  Yaman  dan  sebaliknya  yang memasang tenda di sana. Bila tidak ada kafilah,  tempat ini benar-benar sepi dan hanya merupakan hamparan pasir membakar sebagaimana bagian-bagian tanah Arab lainnya.  
Tinggal di tempat yang  mengerikan  itu  sungguh  sulit bagi    seorang   perempuan   yang   telah   melewatkan hari-harinya  di  negeri  Amaliqa.  Terik  gurun   yang membakar dan anginnya yang amat sangat panas memberikan bayangan kematian  di  hadapan  mata.  Ibrahim  sendiri sangat  prihatin atas kenyataan ini. Sementara memegang kendali hewan tunggangannya dengan  maksud  mengucapkan selamat  tinggal  kepada istri dan anaknya, air matanya
mengalir, dan  ia berkata  kepada  Hajar,  "Wahai.Hajar! Semua  ini  dilakukan  menurut perintah Yang Mahakuasa, dan perintah-Nya tak dapat dilawan.  Bersandarlah  pada rahmat Allah, dan yakinlah bahwa Ia tak akan menistakan kamu." Kemudian  Ibrahim  berdoa  kepada  Allah  dengan penuh  khusyuk,  "Ya  Tuhanku,  jadikanlah  negeri  ini negeri yang aman sentosa,  dan  berikanlah  rezeki  dan buah-buahan  kepada  penduduknya  yang  beriman  kepada Allah dan Hari Kemudian." (QS, al-Baqarah, 2:126).

Ketika  sedang  menuruni  bukit,  Ibrahim  menengok  ke belakang  dan  berdoa  kepada  Allah  untuk mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka.
Walaupun perjalanan tersebut tampak  sangat  sulit  dan susah,   di   kemudian  hari  terbukti  bahwa  hal  itu mengandung makna yang amat penting. Di antaranya adalah pembangunan  Ka'bah  yang  memberikan  dasar yang agung bagi  para  penganut  tauhid  untuk  mengibarkan  panji penyembahan  kepada  Allah  Yang  Esa  di  Arabia,  dan merupakan fundasi gerakan keagamaan  yang  besar,  yang akan  mendapat  bentuk  di kemudian hari, yaitu gerakan besar yang beroperasi di negeri  ini  melalui  pengunci segala nabi.

BAGAIMANA TERJADINYA SUMBER AIR ZAM-ZAM
Ibrahim  mengambil  kendali hewan tunggangannya. Dengan  air mata, ia memohon diri kepada  tanah  Mekah,  Hajar, dan putranya. Tetapi, tak berapa lama kemudian, makanan dan minuman yang dapat diperoleh  si  anak  dan  ibunya habis,  dan air susu Hajar pun kering. Kondisi putranya mulai merosot. Air mata mengucur dari ibu yang terasing itu  dan  membasahi  pangkuannya.  Dalam  keadaan  amat bingung, ia bangkit berdiri lalu pergi ke bukit  Shafa. Dari sana ia melihat suatu bayangan dekat bukit Marwah. Ia pun lari  ke  sana.  Namun,  pemandangan  palsu  itu sangat mengecewakannya. Tangisan dan keresahan putranya tercinta menyebabkan ia lari lebih  keras  ke  sana  ke mari.  Demikianlah,  ia berlari tujuh kali antara bukit Shafa  dan  Marwah  untuk  mencari  air,  tetapi   pada akhirnya  ia  kehilangan  semua  harapan,  lalu kembali kepada putranya. Si anak tentulah telah hampir sampai pada nafasnya yang terakhir.  Kemampuannya  meratap  atau  menangis  sudah tiada.  Namun,  justru  pada  saat  itu   doa   Ibrahim terkabul.  Ibu  yang  letih  lesu itu melihat bahwa air jernih telah mulai keluar dari bawah kaki Isma'il. Sang ibu,  yang  sedang menatap putranya dan mengira ia akan mati beberapa saat lagi, merasa sangat gembira  melihat air  itu. Ibu dan anak itu minum sampai puas, dan kabut putus asa  vang  telah  merentangkan  bayangannya  pada kehidupan   mereka   pun   terusir  oleh  angin  rahmat Ilahi.(lihat Tafsir al-Qummi, hal. 52; Bihar  al-Anwar,II, hal. 100). Munculnya  sumber air ini, yang dinamakan Zamzam, sejak hari itu, membuat burung-burung air terbang di atasnya, membentangkan   sayapnya  yang  lebar  sebagai  penaung kepala  ibu  dan  anak  yang   telah   menderita   itu. Orang-orang  dari  suku  Jarham, yang tinggal jauh dari lembah ini, melihat burung-burung yang  beterbangan  ke sana  ke mari itu. Mereka lalu menyimpulkan bahwa telah ada air di sekitarnya. Mereka mengutus dua orang  untuk mengetahui keadaan itu. Setelah lama berkeliling, kedua orang itu sampai ke  pusat  rahmat  Ilahi  itu.  Ketika mendekat,  mereka  melihat  seorang  wanita dan seorang anak sedang duduk di tepi suatu  genangan  air.  Mereka segera   kembali  dan  melaporkan  hal  itu  kepada para pemimpin sukunya. Para anggota suku itu segera memasang kemah  mereka di sekitar sumber air yang diberkati itu, dan Hajar pun  terlepas  dari  kesulitan  dan  pahitnya kesepian yang dideritanya. Isma'il tumbuh sampai dewasa sebagai pemuda yang ramah.  Ia  pun  mengadakan  ikatan perkawinan  dengan wanita suku Jarham. Dengan demikian, ia beroleh  dukungan  dan  menjadi  anggota  masyarakat mereka.  Oleh  karena  itu,  dari  sisi  ibu, keturunan Isma'il berfamili dengan suku Jarham.

MEREKA BERTEMU KEMBALI
Setelah meninggalkan putranya yang  tercinta  di  tanah  Mekah atas perintah Allah Yang Mahakuasa, kadang-kadang Ibrahim berpikir untuk  pergi  melihat  putranya.  Pada  salah  satu  perjalanannya,  ia  sampai  di  Mekah  dan mendapatkan bahwa putranya tidak ada  di  rumah.  Waktu itu,  Isma'il  telah  tumbuh  menjadi lelaki dewasa dan telah kawin dengan seorang gadis suku  Jarham.  Ibrahim bertanya  kepada  istri  Ismai'l,  "Di  mana  suamimu?" Perempuan  itu  menjawab,  "Ia   telah   keluar   untuk berburu!" Kemudian Ibrahim bertanya kepadanya apakah ia mempunyai makanan. Ia menjawab tak ada.
Ibrahim sangat sedih melihat kekasaran istri  putranya. Ia  lalu  berkata  kepada menantunya itu, "Bila Isma'il pulang, sampaikan kepadanya  salam  saya,  dan  katakan pula  kepadanya untuk mengganti ambang pintu rumahnya." Kemudian Ibrahim pergi.
Ketika  kembali,  Isma'il  mencium  bau  ayahnya.  Dari keterangan  istrinya,  ia  menyadari  bahwa  orang yang telah mengunjungi rumahnya adalah  memang  ayahnya.  Ia juga  mengerti  bahwa  pesan  yang ditinggalkan ayahnya berati   bahwa    beliau    (Ibrahim)    menghendakinya menceraikan   istrinya   sekarang  dan  menggantikannya dengan yang lain, karena beliau memandang istrinya yang sekarang  tidak  pantas  menjadi  kawan hidupnya.(lihat
Bihar al-Anwar,  hal.  112,  sebagaimana  dikutip  dari Qishash al-Anbiya'))  
Mungkin  dapat  dipertanyakan mengapa setelah melakukan perjalanan sejauh itu, Ibrahim  tidak  menunggu  sampai putranya  pulang dari berburu, tapi langsung pergi lagi tanpa  melihatnya.  Para  sejarawan  menerangkan  bahwa Ibrahim   pulang   dengan   tergesa-gesa  karena  telah berjanji kepada Sarah bahwa  beliau  tak  akan  tinggal lama   di   sana.   Setelah  perjalanan  ini,  ia  juga diperintahkan Allah Yang Mahakuasa  untuk  melaksanakan suatu perjalanan lagi ke Mekah, untuk mendirikan Ka'bah guna menarik hati orang yang beriman tauhid
Al-Qur'an menyatakan bahwa menjelang hari-hari terakhir Ibrahim,   Mekah  telah  tumbuh  menjadi  sebuah  kota, karena,  setelah  menyelesaikan  tugasnya,  ia   berdoa kepada Allah, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku  dari menyembah  berhala."  (QS  Ibrahim,  14:35). Dan ketika tiba di gurun Mekah, ia berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri  ini  negeri yang aman sentosa." (QS al-Baqarah, 2:126).
--------------------------------
oleh Ja'far Subhani, hal. 50 - 69
Judul buku: AR-RISALAH
Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW


No comments:

Makalah: Mahabbah, Makrifah

BAB I PENDAHULUAN   A.      Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam din...